KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banjir impor baja asal Tiongkok belum surut. Hal ini pula yang menyebabkan pasar baja domestik semakin terdesak. Data South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) memperlihatkan, ekspor baja Cina ke Indonesia pada kuartal I-2018 menguat 59%
year-on-year (yoy) menjadi 250.783 metrik ton. Di periode yang sama, ekspor baja Tiongkok ke negara ASEAN lainnya justru menyusut
(lihat tabel). Ekspor baja panduan Tiongkok ke negara ASEAN* Negara | Kuartal I-2017 | Kuartal I-2018 | Yoy (%) | Indonesia | 157.528 | 250.783 | 59 | Malaysia | 164.204 | 131.023 | -20 | Filipina | 425.831 | 228.888 | -46 | Singapura | 69.949 | 61.184 | -13 | Thailand | 332.418 | 231.928 | -30 | Vietnam | 1.715.234 | 621.718 | -64 | *Baja panduan HRC, CRC, plate section, dalam metrik ton Sumber: SEAISI, PT Krakatau Steel Tbk |
“Volume impor baja paduan Tiongkok di enam negara ASEAN turun cukup signifikan karena saat ini Tiongkok memangkas kapasitas produksi,” ujar Roy dalam keterangan persnya, Senin (2/7). Meski secara umum turun signifikan, impor baja Tiongkok di Indonesia justru melonjak. Ada dugaan, sebagian besar produk baja impor itu masuk Indonesia dengan cara
unfair trade. Salah satunya dengan penyalahgunaan kategori pos tarif baja paduan. Roy menyatakan, kenaikan volume impor baja paduan mengindikasikan masih ada praktek
circumvention oleh eksportir Tiongkok. Selain itu, kebijakan pemerintah menghapus ketentuan pertimbangan teknis melalui Permendag 22/2018 dinilai berdampak pada industri baja dalam negeri. "Sebab, saat ini semakin mudah mengimpor baja,” imbuh Roy. Impor asal Tiongkok didominasi produk baja
hot rolled coil, plate, cold rolled coil, section dan wire rod. Di produk
section dan
plate, ada penurunan volume impor baja paduan di negara ASEAN, kecuali Indonesia dan Malaysia. Dalam kasus Malaysia, negara jiran ini impor produk baja memang tinggi akibat produsen lokalnya berhenti beroperasi sejak Agustus 2016. Ini berbeda dengan Indonesia, dimana banyak produsen baja lokal beroperasi. Roy pun menyoroti temuan puluhan ribu ton produk baja HRC murah yang beredar di wilayah Jawa Timur dan Banten. Berdasarkan label produk yang melekat pada
coil, diduga barang tersebut berasal dari PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry, yang merupakan grup perusahaan Tsingshan, asal Tiongkok. Pada label tersebut juga tidak ditemukan adanya logo SNI maupun keterangan Nomor Registrasi Produk (NRP). Sebagaimana diketahui bahwa lokasi pabrik PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry sendiri berada di Morowali, Sulawesi Tengah.
Menurut Roy, hal ini menjadi indikasi baru, produk baja tanpa label SNI dan NRP bisa bebas beredar dan luput dari pengawasan pihak berwenang. Alhasil, kasus ini telah menciptakan persoalan baru di tengah-tengah kesulitan yang dialami produsen baja domestik yang dihimpit baja impor murah. Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengemukakan, perlu penanganan yang menyeluruh untuk mengatasi membanjirnya produk baja impor ke dalam negeri. Bila bergantung pada penerapan bea masuk, akan sia-sia. Soalnya, tiga negara importir besar, yakni China, Jepang dan Korea Selatan telah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia