Industri baja dan pemerintah waswas kebanjiran investor China



JAKARTA. Industri baja hulu kebanjiran investor asal China. Pemerintah dan pelaku usaha dalam negeri mulai khawatir tentang masifnya investasi baru di sektor baja hulu tersebut. Alasannya, investasi baru di sektor baja hulu itu sekadar relokasi pabrik skala kecil dari China. Tidak cukup menyoal skala, perusahaan China itu hanya mencari lokasi aman berproduksi setelah negaranya sendiri menolak mereka. Direktur Industri Material Dasar Logam Ditjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan menuturkan, pesatnya relokasi industri baja asal China berskala kecil itu mujurnya disambut baik oleh konsumen dalam negeri. Kebanyakan, industri asal China itu memproduksi baja siku untuk keperluan pagar. Selain itu, lantaran tingginya permintaan, pabrik-pabrik skala kecil yang hanya bermodal colokan listrik 10 MW itu beroperasi menghasilkan baja batangan yang tidak mendapat proteksi ketat standar nasional Indonesia (SNI). Meski demikian, tidak semua investasi sektor hulu berskala kecil. Indonesia juga menjadi lahan investasi salah satu perusahaan baja terbesar di dunia, Pohan Steel Corp (Posco) yang patungan dengan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Hanya, untuk mengantisipasi mewabahnya pabrik skala kecil yang tidak berstandar. "Kami lagi buat kajian spesifikasi industri peleburan harusnya seperti apa," ucapnya, Rabu (30/11). Kementerian Perindustrian memang tengah menugasi Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri (BP-KIMI) untuk merumuskan aturan penangkal agresi relokasi industri asing boros energi ke Indonesia. Hal tersebut terkait dengan banyaknya rencana investasi dari pabrik semen dan besi baja asal China berkapasitas rendah yang berniat merelokasi usahanya ke Indonesia. Padahal, pemerintah China telah menutup pabrik-pabrik berkapasitas di bawah 1 juta ton itu lantaran boros energi, tidak ramah lingkungan, dan tidak mematuhi standar keselamatan. "Masa kita mau menerima mereka padahal di China sendiri sudah ditutup," ungkap Dirjen Kerjasama Industri Internasional, Kementerian Perindustrian Agus Tjahajana. Seperti diketahui, pemerintah China sejak 2010 memiliki kebijakan untuk menutup 2.000 pabrik manufaktur di sektor baja dan semen yang dinilai tidak ramah lingkungan, boros energi, dan tidak memenuhi standar keselamatan. Akibatnya, pabrik-pabrik itu sulit berekspansi di negara asal mereka. "Imbasnya mereka memilih investasi di luar negeri, di Indonesia salah satunya," ucapnya. Oleh karena itu, BP-KIMI akan menerbitkan aturan tentang persyaratan ramah lingkungan, berkualitas bagus, dan hemat energi bagi industri asing yang berniat membangun pabrik di Indonesia. Nantinya aturan itu akan disampaikan pada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai pedoman syarat pemberian izin investasi. "Jadi kalau ada pabrik seperti ini (boros energi) mau investasi, kita sampaikan investasi sejenis ini jangan dikasih izin," katanya. Mengenai aturan itu, dia yakin, BKPM tidak akan keberatan untuk menggunakannya sebagai salah satu pedoman persyaratan pemberian izin. Sebab, lingkup urusan teknis tetap menjadi kewenangan Kementerian Perindustrian, sedangkan BKPM untuk urusan pemberian izin. Direktur Eksekutif The Indonesia Iron and Steel Industry Organization (IISIA) Edward Pinem ikut menambahkan, relokasi pabrik baja skala kecil asal China ke Indonesia itu lantaran adanya pemberlakuan kebijakan keselamatan lingkungan oleh pemerintah setempat. Apalagi, dalam periode 1-2 tahun pabrik-pabrik skala kecil yang sebagian besar tidak ramah lingkungan itu tidak lagi bisa berdomisili di China karena terjegal kebijakan tersebut. Hal itulah yang menyebabkan hijrah massal pabrik asal China tersebut. Meski demikian, Edward menilai, hijrahnya pabrik asal China itu bisa berdampak positif terhadap ekonomi dalam negeri. Asalkan pabrik skala kecil itu bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri serta mengurangi ketergantungan impor produk jadi. Pengaruhnya memang tidak akan terlalu signifikan karena produksi pabrik-pabrik itu hanya sekitar 5.000 ton-10.000 ton per bulan. "Jadi sebenarnya tidak langsung memenuhi kebutuhan lokal," jelas Edward. Porsi impor sendiri, lanjutnya, sebenarnya bisa ditutupi produksi dalam negeri. Hanya memang pesanan yang tidak sesuai jadwal membuat produksi dalam negeri sering kali tidak sesuai dengan kapasitas terpasang. Misalnya, industri dalam negeri tiba-tiba mendapat proyek sejumlah 10.000 ton dalam sebulan. Lantaran tidak terjadwal dari awal tahun, maka mau tidak mau, perusahaan itu terpaksa impor. Apabila pesanan sesuai jadwal sejak awal tahun tentunya pesanan proyek dapat terselesaikan menggunakan pasokan dalam negeri. "Karena sering menggenjot proyek di akhir tahun, akibatnya, industri dalam negeri seolah-olah tidak bisa mengisi padahal kapasitasnya bisa," paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Djumyati P.