Industri baja terjepit harga gas dan listrik



JAKARTA. Di tengah potensi besar, industri baja nasional tengah terjepit harga gas dan listrik.

Data dari Data dari Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) harga dari Pertamina sebesar US$ 6,5 per Million Metric British Thermal Unit (mmbtu) kepada industri hulu. Sementara dari PT PGN sebesar US$ 9,5 per mmbtu.

Padahal, di negara produsen lain seperti Malaysia harga gas US$ 4,64 sampai US$ 5,86 per mmbtu. Bahkan Vietnam hanya US$ 3,6 sampai US$ 5,36 per mmbtu.


"Harga ini cukup mempengaruhi biaya produksi, karena biaya gas memakan 20% komponen ongkos produksi," ujar Hidajat Triseputro, Direktur Eksekutif IISIA kepada KONTAN beberapa waktu lalu.

Hal lain yang membebani industri gas lokal juga harga listrik yang meningkat sejak tahun 2014.

Sebagai contoh, industri logam dasar seperti PT Krakatau Steel mengalami kenaikan biaya produksi sebesar US$ 34 per ton Hot Rolled Coils (HRC) akibat kenaikan listrik dari Rp 723/kWh menjadi Rp 1.191/kWh.

"Setiap kenaikan tarif listrik ini berdampak pada kenaikan biaya produksi sekitar US$ 8 per ton HRC (Hot Rolled Coils, red)," kata Hidajat.

Tentu, ini mempengaruhi harga jual bahan baku kepada sejumlah produsen baja di hilir. Pada akhirnya membuat harga sulit bersaing dengan produsen impor.

"Harga beli bahan baku ke produsen lokal lebih mahal 5% sampai 10% per ton atau kilogram," kata Handaya Susanto, Direktur Utama PT Saranacentral Bajatama, Tbk.

Untuk meningkatkan konsumsi baja nasional dari 41 kilogram per kapita menjadi 70 kilogram per kapita, asosiasi memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah untuk memberikan kebijakan yang akan meringankan beban industri ini.

"Kita sudah memberi masukan kepada pemerintah, jangan sampai industri yang bisa menyerap tenaga kerja banyak ini meredup," tandas Hidajat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto