Industri DPLK cemas sambut BPJS ketenagakerjaan



Jakarta. Menjelang pergantian tahun ke 2014, boleh jadi perusahaan dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) tengah memutar otak agar bisnisnya tetap moncer di masa depan. Pasalnya, jika Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang mengusung program jaminan pensiun berjalan 1 Januari 2015, otomatis bisnis perusahaan DPLK akan terganggu.Kepala Bagian DPLK Bank Rakyat Indonesia (BRI) Wahyuni Marhaenis bercerita, DPLK BRI telah dinyatakan menang dalam tender dana pensiun di beberapa perusahaan. Tapi ketika mau meneken perjanjian kerjasama, para direksi perusahaan itu mendadak membatalkan.“Mereka bilang, buat apa pakai DPLK kalau tahun depan sudah ada BPJS? Jadi, perusahaan mulai menghindar dari DPLK. Sekarang saja sudah ada dampaknya,” kata Wahyuni berkeluh-kesah.Seperti tercantum di Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Program Jaminan Pensiun, pemerintah menetapkan iuran jaminan pensiun sebesar 8% dari gaji karyawan per bulan. Perinciannya, sebesar 3% akan dibayar oleh pekerja yang dipotong langsung dari penghasilan bulanan, dan 5% menjadi tanggungjawab perusahaan sebagai pemberi kerja.Lantaran beban semakin besar, perusahaan akan memilih hanya membuka program pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan dan meninggalkan perusahaan DPLK. Ditambah lagi kabar bahwa pemerintah mewajibkan perusahaan mengalihkan program dana pensiunnya ke BPJS Ketenagakerjaan. “Kami bisa gulung tikar,” tukas Nur Hasan Setiawan, salah seorang pengurus Asosiasi DPLK.Berdasarkan catatan Asosiasi DPLK, sebagian besar DPLK menyasar korporasi. Hanya DPLK Bank Negara Indonesia (BNI) dan BRI yang bermain di pasar ritel dan korporasi.DPLK BNI dan BRI merupakan pemimpin pasar saat ini, baik dari jumlah peserta dan dana kelolaan. Pemain baru yang bermain ritel dan korporasi adalah DPLK Bank Mandiri yang berdiri dua tahun lalu. Pemain DPLK saat ini juga masih sedikit. Dari 109 bank di Indonesia, cuma enam bank yang memiliki program DPLK.Menurut Pemimpin DPLK BNI Betty Alwi, peserta DPLK BNI tumbuh di atas 10% setiap tahun. Mereka saat ini memiliki 630.000 peserta dengan total dana kelolaan sebesar Rp 8 triliun. Sedangkan DPLK BRI, menurut Wahyuni, memiliki 80.000 peserta dari korporat dan 15.000 orang nasabah ritel. Jumlah dana kelolaannya per September lalu sebesar Rp 2,9 triliun.Sebagian besar DPLK memilih fokus ke korporasi karena keterbatasan cabang dan tenaga pemasaran. Hal ini berbeda dengan BNI dan BRI yang memiliki cabang tersebar hingga ke pelosok serta ditunjang tenaga pemasaran yang banyak.Dari sisi bisnis, industri DPLK sejauh ini berkembang cukup pesat. “Setiap tahun, aset industri DPLK secara keseluruhan tumbuh 20% hingga 25%,” tutur Nur Hasan. Per Mei 2013, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total aset DPLK dan dana pensiun pemberi kerja (DPPK) sebesar Rp 162,82 triliun, naik dari akhir tahun lalu yang sebesar Rp 158,37 triliun.Sebagian besar aset industri dana pensiun dimiliki DPPK manfaat pasti, yaitu 72,60%. Sedangkan aset DPLK hanya 17,20% (lihat infografis), terdiri dari 25 perusahaan. Catatan OJK ini berbeda dengan Asosiasi DPLK yang menyatakan jumlah perusahaan DPLK sebanyak 24 perusahaan. “DPPK yang terbesar biasanya perusahaan BUMN yang memiliki pekerja cukup banyak, seperti DPPK Pertamina dan Telkom,” kata Nur Hasan.Masih ada celahPotensi pasar dan keuntungan industri DPLK sebenarnya cukup besar. Jumlah pekerja yang memiliki jaminan pensiun saat ini mungkin baru 12 juta orang. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja produktif di negeri ini yang mencapai 121 juta orang.Selain itu, sampai saat ini tidak ada pengelola dana pensiun yang mencatatkan kerugian. Perusahaan DPLK hanya mengalami masa sulit di awal pendirian perusahaan. Kesulitan ini terasa lebih berat jika perusahaan DPLK maupun induknya tidak memiliki brand yang kuat. “DPLK yang sudah lama berdiri mungkin bisa berkontribusi 5%–10% dari total laba perusahaan induk,” kata Nur Hasan.Memang, belakangan ini, hasil investasi DPLK secara umum menurun seiring memburuknya pasar keuangan. Maklum, portofolio investasi industri dana pensiun cukup besar di obligasi, surat berharga negara, dan saham.DPLK diperbolehkan mengelola dananya di instrumen investasi seperti reksadana, saham, properti, tanah, deposito, surat utang negara, hingga kontrak opsi saham. Tapi porsinya dibatasi, seperti saham maksimal 10% dari total portofolio, reksadana penyertaan terbatas maksimal 10%, dan tanah 15%.Dengan gambaran bisnis seperti itu, pelaku industri DPLK ketar-ketir melihat regulasi program jaminan pensiun yang dibesut oleh pemerintah. “Kami khawatir, apakah semua peserta Dapen BRI harus beralih. Harapannya, kalau yang sudah ikut program pensiun tidak wajib ikut BPJS,” kata Wahyuni.Sedangkan DPLK BNI dan DPLK Jiwasraya terlihat masih optimistis. Pemimpin DPLK BNI Betty Alwi mengatakan, masih ada celah bisnis meskipun muncul BPJS Ketenagakerjaan. “Harus berpikir positif dulu. Pekerjaan rumah buat kami untuk pandai-pandai mencari pasar,” imbuhnya.Pasalnya, antara DPLK dan BPJS akan memiliki segmen masing-masing. Karena itu, dana pensiun Jiwasraya menargetkan pertumbuhan tahun ini sebesar 15% dengan menyasar direksi, kepala divisi dan manajer perusahaan. “BPJS hanya bisa memenuhi manfaat bagi layer keempat, yakni staf di perusahaan,” kata Direktur Pemasaran Jiwasraya, De Yong Adrian. ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 5 - XVIII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Imanuel Alexander