Industri Elektronik Tertekan Pelemahan Nilai Tukar Rupiah dan Masalah Lainnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri elektronik lokal mengalami sejumlah tantangan saat ini. Selain karena pelemahan nilai tukar rupiah yang berimbas pada naiknya harga bahan baku, permasalahan peti kemas dan logistik berimbas pada biaya industri yang melonjak. 

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel), Daniel Suhardiman mengungkapkan, seiring dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar harga bahan baku sudah naik. Saat ini para pelaku pasar masih mempertimbangkan berapa dampak ke kenaikan harga jual. 

Daniel memaparkan, sebelumnya akibat kenaikan tarif pengapalan (freight rate) membuat harga elektronik secara umum mengalami kenaikan di kisaran 2%-5%. 


Baca Juga: Kominfo Bisa Blokir Situs dan Aplikasi Trading, Tenggat Mendaftar PSE 20 Juli 2022

“Dampak kemungkinan akan dirasakan apabila rupiah dalam waktu dekat masih melemah, para pelaku pasar terpaksa menaikkan harga jual. Bagi industri dalam negeri, ini sangat sulit,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (17/7). 

Selain adanya tantangan pelemahan kurs rupiah terhadap dolar, industri elektronik juga masih merasakan kendala kelangkaan peti kemas dan biaya kapal yang belum kembali ke kondisi pra-krisis. 

Kendati demikian, Daniel mengatakan, suplai bahan baku masih cukup normal. Namun, untuk chip masih terkendala dan perlu booking pembelian lebih panjang dari kondisi normal. Secara umum, kondisi stok bahan baku masih relatif aman meskipun perlu follow up ketat terkait jadwal pengiriman.

Hal yang sama juga dirasakan Perkumpulan Perusahaan Pendingin Refrigerasi Indonesia (Perprindo). 

Ketua Umum PERPRINDO, Iffan Suryanto menjelaskan, dampak kurs rupiah melemah sangat berpengaruh terhadap industri pendingin refrigerasi terutama industri AC. Saat ini  bahan baku AC masih sangat bergantung pada impor karena tidak tersedianya bahan baku lokal. Sebagai contoh, komponen kompressor AC yang merupakan komponen utama saat ini harus diimpor karena tidak adanya pabrik kompressor AC di Indonesia.

“Di sisi lain, masalah peti kemas dan biaya industri pendingin refrigerasi juga menambah masalah karena masih banyak komponen-komponen untuk memproduksi AC dan Kulkas yang masih diimpor sehingga ini otomatis menambah beban operasional,” jelasnya saat dihubungi terpisah. 

Baca Juga: PT INTI Catatkan Produksi Perangkat Set Top Box INTI DVBT2 Sebanyak 10.000 Unit

Selain kedua masalah ini, Iffan mengakui, pelaku usaha juga terhalang oleh kebijakan pemerintah yang kurang jelas. Dia menegaskan, Perprindo sebagai asosiasi yang mendukung kebijakan pemerintah dan salah satunya kebijakan pemerintah untuk mengurangi impor telah melakukan pembinaan kepada anggota Perprindo agar mendukung penuh kebijakan pemerintah tersebut. 

Saat ini sudah ada dua anggota Perprindo yang sudah melakukan komitmen untuk memindahkan basis produksi dari luar negeri dan melakukan investasi membangun pabrik di Indonesia. 

Pertama, pabrik yang sudah ground breaking di Februari 2022 adalah PT Sharp Electronics Indonesia (SEID) dan ditargetkan beroperasi di April 2023.  Sharp Indonesia sangat berharap untuk bisa mendapatkan dukungan penuh dari Pemerintah untuk memastikan Pembangunan Pabrik AC bisa berjalan sesuai rencana dengan tetap diberikan Kuota Persetujuan Impor yang memadai sampai dengan April 2023. 

Kedua, PT Daikin Indonesia dan ditargetkan ground breaking di Desember 2022 dan akan beroperasi di April 2024 di Kawasan Industri Deltamas Karawang seluas 21 Hektare. 

“Namun sayangnya bahwa pada saat ini untuk pelaku usaha yang sudah memberikan komitmen investasi masih juga dihambat dalam pemberian Persetujuan Impor untuk produk AC nya,” ungkapnya. 

Baca Juga: Taiwan Tepis Kekhawatiran Perlambatan Permintaan Teknologi, Pesanan Chip Masih Penuh

Secara umum, kondisi stok bahan baku pelaku usaha saat ini mengalami hambatan dalam pemenuhannya karena faktor kurs dollar yang tinggi, kelangkaan peti kemas, dan tingginya biaya logistik serta lockdown di negara-negara pemasok bahan baku. Ditambah lagi pemberian Persetujuan Impor dari pemerintah yang terhambat.

“Kinerja pelaku usaha pastinya akan mengalami tantangan dan ini terjadi secara global juga di mana adanya faktor ekonomi yang sedang mengalami pemulihan dari pandemi dan juga tantangan kebijakan pemerintah,” tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .