Industri farmasi mulai genjot produksi



JAKARTA. Kehadiran Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) membuat industri farmasi nasional bergairah. Kalangan industri farmasi memprediksi, pabrikan farmasi akan menggenjot utilisasi pabrik farmasi hingga 100% di akhir tahun ini. Kini, utilisasi pabrik farmasi baru 50%.

Kendrariadi Suhanda, Ketua Umum Pharma Materials Management Club (PMMC) berujar, penerapan SJSN yang akan berlangsung mulai 2014 membuat kebutuhan obat makin meningkat dan menggenjot kapasitas produksi pabrik farmasi domestik. Kalangan industri farmasi memprediksi, nilai bisnis farmasi domestik di 2014 bisa mencapai US$ 6,1 miliar.

Industri pendukung farmasi, seperti bahan baku farmasi, mesin dan kemasan obat juga bakal menikmati euforia bisnis farmasi tersebut. "Khusus bahan baku, meski 95% masih impor, namun dengan volume obat yang bakal bertambah tiga kali lipat dari sekarang, pebisnis farmasi akan terdorong membuat bahan baku obat," terang Kendrariadi.


Kendrariadi memprediksi, tahun depan bakal banyak skema bisnis model kontrak produksi (manufacturing contract). Artinya, ada investor yang memanfaatkan pabrik farmasi domestik untuk membuat bahan baku farmasi. "Selain antisipasi SJSN, mereka juga menyiasati penyediaan obat lewat e-catalog oleh pemerintah," kata Johannes Setijono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi).

Sistem kerjasama ini memang perlu, apalagi bagi perusahaan farmasi skala kecil dan menengah, supaya setiap pesanan obat yang masuk bisa diantisipasi dengan baik oleh perusahaan farmasi. Maklum, dengan program e-catalog, pembeli obat bisa memilih perusahan farmasi, jenis, dan jumlah obat secara transparan.

Asal tahu saja, program e-catalog obat generik yang baru diluncurkan dua minggu lalu oleh pemerintah ternyata cuma diikuti 50 perusahaan farmasi domestik. Padahal, jumlah perusahaan farmasi domestik ada sebanyak 200 perusahaan.

Faktor inilah yang membuat perusahaan farmasi asal Spanyol, yakni Chemo, berminat membangun pabrik bahan baku obat. Cara yang dipilih, menurut Setijono, adalah kontrak produksi dengan salah satu produsen farmasi kelas menengah di Jawa Tengah. Sayang, Setijono tidak merinci jati diri dari perusahaan farmasi lokal ini. Cara kontrak produksi memang jadi pilihan. Pasalnya, bila ingin membangun pabrik obat generik butuh investasi minimal Rp 100 miliar dan baru bisa beroperasi empat tahun lagi.

PT Indofarma Tbk misalnya, memilih untuk meningkatkan kapasitas produksi pabriknya. Menurut Bambang Solihin, Business Development Indofarma, perusahaannya akan menggenjot kapasitas produksi hingga tiga kali lipat dalam waktu dua tahun mendatang.

Ini lebih efektif ketimbang harus membangun pabrik farmasi yang butuh proses panjang. "Pembangunan pabrik harus ada persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM)," kata Bambang.

Berkaitan dengan bahan baku obat, Setijono berujar bahwa industri farmasi domestik kesulitan bila harus membangun industri bahan baku farmasi. Ia justru meminta bantuan dari industri non farmasi seperti kimia atau agribisnis supaya memproduksi bahan baku farmasi berbahan dasar agrikultur.

Pasalnya, membangun industri farmasi pembuat bahan baku obat tidak ekonomis. Pesaingnya adalah pemain global. Dan pasar farmasi Indonesia baru 0,5% dari pasar farmasi global. "Kebanyakan perusahaan farmasi yang membuat bahan baku farmasi akan bangkrut karena kalah bersaing dengan pemain global," ucap Setijono.

Padahal, menurut Maura Linda, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian Kementerian Kesehatan, pemerintah mendukung pertumbuhan industri hulu farmasi. Tahun lalu, baru ada lima item produk bahan baku farmasi. Ia menargetkan tahun ini bakal ada 15 item produk bahan baku farmasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon