Industri farmasi siap gunakan garam lokal



JAKARTA. Ketergantungan industri farmasi terhadap pasokan bahan baku garam dari impor tidak bisa dihilangkan selagi Indonesia tidak mampu memproduksi sendiri. Di sisi lain, kebutuhan bahan baku obat tersebut semakin meningkat sejalan bertambahnya jumlah penduduk.

Atas dasar itu,  PT Kimia Farma Tbk dalam beberapa tahun terakhir bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan pabrik garam farmasi pertama di Tanah Air. Pada 8 Desember 2016, pabrik tahap pertama ini mulai berproduksi. Pabrik dengan investasi Rp 28,8 miliar yang berlokasi di Watudakon, Jombang, Jawa Timur, memiliki kapasitas produksi 2.000 ton per tahun.

Eddy Murianto, General Manager Corporate Secretary PT Kimia Farma Tbk, bilang,  pabrik tahap satu sudah mulai memproduksi garam farmasi. “Kami sudah memasok ke beberapa industri farmasi,” paparnya.


Intan Jaya juga siap menghentikan impor, jika garam farmasi sudah bisa diproduksi di dalam negeri, dengan catatan: pasokan terjamin lancar dan produk sesuai standar kebutuhan farmasi. “Proses pengadaan bahan baku jadi lebih mudah dan tidak perlu mengajukan persetujuan impor dari kementerian terkait,” kata Rudi Susanto, General Manager PT Intan Jaya Medica Solution.

Kimia Farma pun menjamin kualitas garam yang diproduksi tidak beda dengan garam farmasi impor. Bahkan dari sisi harga, garam farmasi Kimia Farma lebih murah ketimbang impor. “Kualitas dan harga bisa bersaing,” klaim Eddy.

Cuma, hingga tahun depan, Kimia Farma belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan garam farmasi di dalam negeri karena kapasitas pabrik tahap satu baru 2.000 ton per tahun. Rencananya, di lokasi yang sama, Kimia Farma bakal membangun pabrik tahap dua dengan kapasitas 4.000 ton per tahun. Nilai investasinya Rp 76 miliar. Nantinya, jika kebutuhan Indonesia terhadap garam farmasi sebesar 6.000 ton per tahun dapat dipenuhi seluruhnya, berarti Indonesia tidak perlu lagi impor garam farmasi.

Eddy menyebutkan, pembangunan pabrik tersebut masih dalam tahap land clearing, Targetnya, sampai akhir 2017 pabrik rampung dibangun dan berproduksi.

Untuk memproduksi garam farmasi, Kimia Farma mendapat alokasi bahan baku garam dari PT Garam. Sebelumnya, pada tanggal 22 April 2014 lalu, kedua perusahaan BUMN ini telah melakukan penandatanganan kerjasama tentang pasokan bahan baku produksi garam farmasi dan penjajakan distribusinya oleh PT Garam. Direktur Utama PT Garam Achmad Budiono menyebutkan, kapasitas produksinya saat ini mencapai 400.000 ton per tahun. “Untuk memasok garam farmasi yang jumlahnya tidak terlalu banyak, hanya 2.000 ton per tahun, kami masih sanggup,” tandasnya.

Ya, selama ini seretnya bahan baku garam farmasi akibat belum ada pabrik yang bisa mengolah garam lokal. “Garam lokal ini kualitasnya masih rendah akibat tercemar limbah industri dari aliran sungai yang bermuara ke laut,” ungkap Direktur Industri Kimia Hulu Kemperin, Muhammad Khayam. Alhasil, pelaku industri harus berinvestasi lebih jika mau menggunakan garam lokal sebagai bahan bakunya. Misalnya mendatangkan alat produksi berteknologi mutakhir agar dapat memproduksi garam farmasi dari pasokan garam rakyat.

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto mengamini. Menurut dia, ada banyak hambatan memproduksi garam farmasi di dalam negeri. Pertama, industri terbiasa impor karena lebih cepat dan harga murah. Kedua, industri ragu produk yang dihasilkan bisa laku. Itulah pemacu BPPT dan Kimia Farma membuat terobosan dengan mengembangkan pabrik garam farmasi untuk mengurangi ketergantungan.

BPPT mengklaim mempunyai keahlian untuk terus mengkaji tentang masalah obat dan alat-alat kesehatan. “Kami punya penelitian lain untuk bahan baku obat,” terang Unggul Priyanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan