KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kemudahan mencari pemodal dan menjadi pemodal Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) melalui teknologi finansial urun dana atawa
securities crowdfunding (SCF) menjadi daya tarik industri ini untuk berkembang. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) realisasi penerbitan saham UMKM di SCF naik 64% secara
year to date (ytd) mencapai Rp 313,55 miliar per akhir Juli. Sedangkan, total pemodal fintech SCF atau sebelumya disebut
equity crowdfuning (ECF) di periode yang sama juga tumbuh 54,42% ytd menjadi 34.525 pemodal dari 22.341 pemodal.
Ketua Umum Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI), Reza Avesena mengatakan industri SCF berkembang karena konsep SCF memudahkan masyarakat untuk bisa memiliki saham UMKM berkualitas. Dari sisi pemodal, keuntungan yang bisa didapat dari platform SCF adalah pertama, bisa memiliki potensi mendapatkan keuntungan bagi hasil dari investasi yang dilakukan ke UMKM tersebut.
Baca Juga: Hingga Mei 2021, pendanaan fintech urun dana capai Rp 273,47 miliar Kedua, masyarakat bisa sekaligus mempelajari bisnis UMKM dari laporan-laporan kinerja keuangan yang disajikan para UMKM (penerbit) di platform layanan urun dana. Ketiga, investor secara tidak langsung juga bisa berkontribusi memajukan ekonomi lewat pengembangan usaha mikro. Untuk dapat memiliki potensi keuntungan dari UMKM, mengacu pada peraturan OJK nomor 37/POJK/04/2018 jumlah minimal pembelian saham adalah jumlah dana yang ditawarkan dibagi sisa maksimal pemilik saham untuk atas nama masyarakat. Sehingga minimal pembelian saham tiap penerbit bisa berbeda. Reza mengatakan jumlah minimal pembelian saham bisa saja dimulai dari sekitar Rp 50.000. Bagi investor yang terjun di SCF, Reza mengingatkan investasi di SCF termasuk sebagai investasi jangka panjang. Selain itu, terdapat risiko yang cukup tinggi. "Investasi langsung pada UMKM tentunya memliki risiko yang cukup tinggi, bisa terjadi penurunan penjualan, pembatasan gerak ekonomi karena pandemi juga sangat berpengaruh terhadap kinerja UMKM," kata Reza, Senin (15/8). Tinggi rendahnya imbal hasil atawa dividen yang investor dapatkan bergantung pada penjualan dan pertumbuhan kinerja masing-masing UMKM. Sementara, periode pembagian imbal hasil beragam, tetapi rata-rata didistribusikan setiap 6 bulan sekali atau satu tahun sekali.
Baca Juga: Fintech syariah diyakini tumbuh pada tahun 2021, ini alasannya Senada, Perencana Keuangan dari Finansia Consulting, Eko Endarto, mengatakan risiko investasi di SCF cukup tinggi. "Kepemilikan UMKM masih pribadi dan risiko bisnis lebih besar dibanding perusahaan yang sudah besar," kata Eko. Sebelum bergabung menjadi investor, Eko mengingatkan baiknya investor benar-benar mempelajari penerbit yang ada di paltform urun dana tersebut. Kembali pertimbangkan dan bertanya terkait standar laporan keuangan dan proyeksi imbal hasil yang diinfokan ke pemodal.
Baca Juga: Securities crowdfunding Bizhare berhasil bagikan dividen sebesar Rp 4 miliar Jika yakin berinvestasi di SCF, Eko mengatakan instrumen investasi yang terbilang baru ini bisa menjadi pilihan portofolio investasi. "Sebagai alternatif investasi, SCF menarik karena perkembangan bisnis UMKM di Indonesia juga harus didukung oleh masyarakatnya sendiri dan bagi hasil usaha UMKM yang sukses cukup tinggi," kata Eko. Hingga saat ini, terdapat lima platform SCF yang sudah memiliki izin OJK, yaitu, yaitu PT Santara Daya Inspiratama (Santara), PT Investasi Digital Nusantara (Bizhare), dan PT Crowddana Teknologi Indonusa (CrowdDana), PT Numex Teknologi Indonesia (LandX), serta anak usaha Sinarmas Group PT Dana Saham Bersama (Danasaham). Mengutip prospektus salah satu penerbit di laman LandX, PT Kuliner Maju Pertama yang bergerak di bisnis food & beverages mengestimasikan dividen sebesar 10%-15% per tahun kepada pemodalnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli