industri FMCG mengalami kontraksi sebesar 5,9% sepanjang tahun 2020



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 yang menimpa Indonesia tahun lalu, sontak berdampak terhadap aktivitas ekonomi di hampir semua sektor industri tanah air. Tak terkecuali sektor industri ritel, khususnya fast moving consumer good (FMCG) yang disebut mengalami kontraksi terparah selama 20 tahun terakhir. 

Presiden Direktur PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (Alfamart), Anggara Hans Prawira mengungkapkan, di tahun 2020 industri FMCG mengalami kontraksi sebesar 5,9%. Angka tersebut merupakan yang terparah, mengalahkan kinerja di tahun 2018, di mana pada saat itu industri hanya mampu membukukan pertumbuhan sekitar 1%. 

"Kalau kita lihat data total market FMCG Indonesia 2020, itu kita mengalami kontraksi kurang lebih  5,9%. Selama 20 tahun terakhir, Industri FMCG itu tidak pernah mengalami kontraksi," ungkap Anggara dalam Forum Indonesia Bangkit Virtual, Selasa (6/4). 

Anggara mengatakan, kondisi cukup berat juga sebenarnya dialami industri FMCG pada momen Ramadan tahun lalu. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, penjualan produk FMCG di Ramadan tahun lalu justru melemah. "Kemudian festive 2020 itu sangat berat. Festive biasanya jadi masa panen riteler, tapi 2020 sangat berat. Kita lihat dari Juli-Desember daya beli industri ritel relatif lemah," kata dia.

Selain itu, penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)  di sejumlah wilayah juga turut membuat animo masyarakat untuk berbelanja ke gerai offline menjadi terbatas. Kondisi tersebut, tentunya  berpengaruh terhadap kinerja industri FMCG selama pandemi. 

"Dengan penerapan PPKM dan pembatasan jam operasional, memang kembali sedikit menekan industri ritel. Karena jam operasional pada saat itu dibatasi sampai jam 7 malam. Sedangkan biasanya, riteler FMCG thick hour-nya tuh di jam 7-8 malam," terang Anggara.

Baca Juga: Simak strategi bisnis Hero Supermarket (HERO) menghadapi perayaan ramadan

Menurutnya, menurunnya daya beli masyarakat menjadi faktor lain yang menyebabkan merosotnya kinerja perusahaan di tahun lalu. Di mana, penurunan daya beli itu utamanya terjadi pada konsumen di segmen menengah ke bawah. 

"Kita tidak bisa men-generalisasi semua konsumen, untuk segmen middle up, interm of spending tidak mengalami penurunan, bahkan dalam banyak kasus naik. Dan mereka tidak switching brand biasanya segmen ini, tetap konsisten dengan brand yang ada bahkan membeli dalam jumlah lebih besar," terang Anggara. 

Tak hanya penurunan daya beli, perubahan tren konsumsi pun ikut berdampak terhadap anjloknya industri FMCG selama pandemi. Lantaran, konsumen di segmen menengah ke bawah cenderung membeli atau memilih produk dengan harga yang lebih terjangkau. 

"Tapi kalau kita lihat middle low segmen, impact terhadap daya beli terlihat sekali. Kita lihat mulai terjadi penurunan spending, bahkan terjadi juga switching brand, kepada brand yang lebih affordable," jelasnya. 

Meskipun harus melewati kondisi berat selama hampir setahun terakhir, Anggara tetap menyongsong 2021 dengan optimisme tinggi. Menurutnya, program vaksinasi yang tengah digencarkan pemerintah diyakini akan menjadi kunci pemulihan ekonomi tanah air saat ini. 

"Saya kita per-Maret situasi jadi lebih baik. Kita masih sangat optimistis di 2021 kita dapat menjadi lebih baik dibandingkan 2020, Keyakinan masyarakat kembali terlihat untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari," pungkasnya. 

Selanjutnya: Pengelola jaringan Indomaret berharap lebaran tahun ini dapat mengerek penjualan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .