Industri hasil tembakau kian terpuruk



JAKARTA. Penyampaian informasi yang keliru terkait industri hasil tembakau dapat menciptakan kegaduhan yang tidak perlu di kalangan para pemangku kepentingan terkait.

Hal ini diungkapkan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto, menyikapi komentar pihak-pihak yang mengatakan bahwa kenaikan cukai tidak berdampak pada tenaga kerja serta petani tembakau dan cengeh.

Untuk itu, ia meminta informasi industri hasil tembakau disampaikan secara akurat. "Ketika industri tertekan, otomatis seluruh mata rantai dari hulu sampai hilir akan menjadi korban, termasuk tenaga kerja,” kata Sudarto dalam keterangannya, Kamis (3/8).


Keprihatinan yang sama disampaikan Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigeret Indonesia (MPS-I) Djoko Wahyudi. Menurutnya, data dan fakta di lapangan sering diinformasikan salah.

“Saya sudah menulis surat kepada Menteri Keuangan, supaya lebih memperhatikan para pelaku industri hasil tembakau, khususnya yang memproduksi sigaret kretek tangan. Karena sekarang kami lebih sering didiskreditkan, padahal mereka tidak melihat dan paham akan efek yang ditimbulkan jika kami tutup,” katanya.

Lebih lanjut, Djoko pun memaparkan situasi industri hasil tembakau sudah memiliki beban yang cukup besar seperti cukai dan penurunan produksi sebesar 2 persen pada 2016. “Penurunan ini sebenarnya sudah terjadi sejak 10 tahun lalu. Jumlah pabrik rokok pada 2006 sebanyak 4.669 dan saat ini tinggal 754 pabrik. Kalau kami tidak dapat bertahan, pegawai kami yang tingkat pendidikannya rendah juga akan terkena imbasnya,” lanjutnya.

 Untuk tahun 2017, Kementerian Keuangan memprediksi akan terjadi penurunan produksi rokok lagi sampai dengan 2,3 persen atau lebih besar daripada penurunan 2016. “Ini harus jadi perhatian khusus, pemerintah seharusnya tidak menaikkan target cukai lagi, untuk target 2016 saja tidak tercapai,” katanya.

 Djoko meminta pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai 2018 sampai industri pulih dari penurunan produksi. “Selain itu, saya juga meminta agar diterapkan pengenaan tarif cukai yang lebih adil, yaitu memastikan tidak adanya tarif cukai Sigaret Kretek Mesin yang lebih rendah daripada tarif cukai SKT. Hal ini sangat penting mengingat tingginya serapan tenaga kerja di segmen SKT, dimana 7.000 pelinting dapat digantikan oleh 1 mesin saja,” katanya.

Sementara itu, Sudarto yang mewakili kalangan buruh mengatakan, beban yang berlebihan juga memberikan dampak langsung kepada pekerja. “Dampaknya sangat terasa pada kesejahteraan buruh dan bahkan PHK para buruh rokok,” lanjutnya.

Saat ini, kata Sudarto, anggota FSP RTMM berjumlah sekitar 340 ribu orang. Sepanjang 2010-2016, jumlah anggotanya berkurang sebanyak 32.729 orang akibat PHK. “Itu baru anggota FSP RTMM yang tercatat di data kami, kalau di luar itu lebih banyak,” katanya.

 Ia juga mengatakan, Apalagi buruh yang menjadi korban biasanya mereka yang berpendidikan SD dan SMP. “Tentu mereka akan kesulitan untuk mencari pekerjaan lagi. Saya pikir ini harus menjadi perhatian kita bersama,” lanjutnya.

 Untuk itu, Sudarto meminta pemerintah sangat memperhatikan aspek-aspek lain yang bisa menggerus industri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto