KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) mengatakan akibat diserbu barang impor murah, industri hilir plastik harus mengurangi permintaan kepada industri hulu hingga 40%. Efeknya, sejumlah perusahaan hulu plastik kini menghentikan sejumlah mesinnya dengan alasan pemeliharaan. "Kalau ditanya berapa persen penurunannya bisa mencapai 40% penurunannya, karena barang tidak bisa bersaing dengan barang impor," ungkap Sekretaris Jenderal Aphindo, Henry Chevalier, saat dihubungi Kontan, Selasa (23/07). Ia menambahkan barang jadi plastik yang masuk ke Indonesia memiliki harga yang sangat kompetitif dengan produk dalam negeri. Selisih harga impor dengan barang lokal bisa mencapai 8%-10% lebih murah. "Kenapa bisa lebih murah? Ini karena harga barang baku lokal yang terlalu mahal. Industri hulu belum mampu mensuplay seluruh kebutuhan dalam negeri. Sehingga kita harus impor bahan baku. Kemampuan industri hulu untuk mensuport kebutuhan dalam negeri itu antara 60%-70% berarti 30%-40% harus impor," jelasnya. Baca Juga: Inocycle Technology (INOV) Optimalkan Penyerapan Produk PET dari Industri AMDK Harga bahan baku impor itu ungkap Henry kemudian dikenakan bea masuk tinggi sehingga saat sampai di industri hilir harganya juga semakin mahal. "Itu bea masuk saja sudah hampir 15%, antara 10%-15%. Bagaimana kita mau bersaing sementara produk-produk barang jadi di China misalnya, itu biaya buruhnya sangat rendah. Kemudian barang dari Thailand, mereka bahan baku plastik yang belum bisa diproduksi dalam negeri, kalau mereka impor dari manapun, 0% bea masuknya," katanya. Karena bahan baku yang tidak dikenakan bea masuk dan biaya produksi yang murah inilah membuat barang jadi plastik dari negara-negara luar punya harga yang lebih murah daripada harga barang jadi plastik lokal. "Kan mereka ekspor ke sini, makanya bisa lebih murah daripada harga lokal. Itu yang membuat kita tidak bisa bersaing," katanya. Baca Juga: Tak Hanya Plastik & MBDK, Produk BBM Hingga Snack Kemasan Masuk Kajian Pungutan Cukai Ia juga berharap agar kedepan, pemerintah bisa mempertimbangkan besaran bea masuk bagi bahan baku plastik impor. "Intinya, kalau pemerintah mau melindungi industri dalam negeri, berikanlah sama-sama misalnya bea masuk. Dulu kita sempat ada Bea Masuk yang Ditanggung Pemerintah (BMDP), kita pakai itu kira-kira hampir 9 tahun, jadi 0% impor bahan baku plastik," ungkapnya. Henry juga menyebut kegagalan persaingan industri hilir plastik di Indonesia dengan barang impor akibat besarnya biaya birokrasi di negeri sendiri. "Kalau produk barang jadi masuk ke Indonesia pasti barang jadi di dalam negeri pasti akan 'megap-megap'. Harga dalam negeri lebih mahal karena dipengaruhi bahan baku yang kena bea masuk impor, ditambah mahal, listrik mahal. Jadi memang biaya birokrasi kita terlalu tinggi," tutupnya.
Industri Hilir Plastik Tertekan, Aphindo Beberkan Persaingan dengan Barang Impor
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) mengatakan akibat diserbu barang impor murah, industri hilir plastik harus mengurangi permintaan kepada industri hulu hingga 40%. Efeknya, sejumlah perusahaan hulu plastik kini menghentikan sejumlah mesinnya dengan alasan pemeliharaan. "Kalau ditanya berapa persen penurunannya bisa mencapai 40% penurunannya, karena barang tidak bisa bersaing dengan barang impor," ungkap Sekretaris Jenderal Aphindo, Henry Chevalier, saat dihubungi Kontan, Selasa (23/07). Ia menambahkan barang jadi plastik yang masuk ke Indonesia memiliki harga yang sangat kompetitif dengan produk dalam negeri. Selisih harga impor dengan barang lokal bisa mencapai 8%-10% lebih murah. "Kenapa bisa lebih murah? Ini karena harga barang baku lokal yang terlalu mahal. Industri hulu belum mampu mensuplay seluruh kebutuhan dalam negeri. Sehingga kita harus impor bahan baku. Kemampuan industri hulu untuk mensuport kebutuhan dalam negeri itu antara 60%-70% berarti 30%-40% harus impor," jelasnya. Baca Juga: Inocycle Technology (INOV) Optimalkan Penyerapan Produk PET dari Industri AMDK Harga bahan baku impor itu ungkap Henry kemudian dikenakan bea masuk tinggi sehingga saat sampai di industri hilir harganya juga semakin mahal. "Itu bea masuk saja sudah hampir 15%, antara 10%-15%. Bagaimana kita mau bersaing sementara produk-produk barang jadi di China misalnya, itu biaya buruhnya sangat rendah. Kemudian barang dari Thailand, mereka bahan baku plastik yang belum bisa diproduksi dalam negeri, kalau mereka impor dari manapun, 0% bea masuknya," katanya. Karena bahan baku yang tidak dikenakan bea masuk dan biaya produksi yang murah inilah membuat barang jadi plastik dari negara-negara luar punya harga yang lebih murah daripada harga barang jadi plastik lokal. "Kan mereka ekspor ke sini, makanya bisa lebih murah daripada harga lokal. Itu yang membuat kita tidak bisa bersaing," katanya. Baca Juga: Tak Hanya Plastik & MBDK, Produk BBM Hingga Snack Kemasan Masuk Kajian Pungutan Cukai Ia juga berharap agar kedepan, pemerintah bisa mempertimbangkan besaran bea masuk bagi bahan baku plastik impor. "Intinya, kalau pemerintah mau melindungi industri dalam negeri, berikanlah sama-sama misalnya bea masuk. Dulu kita sempat ada Bea Masuk yang Ditanggung Pemerintah (BMDP), kita pakai itu kira-kira hampir 9 tahun, jadi 0% impor bahan baku plastik," ungkapnya. Henry juga menyebut kegagalan persaingan industri hilir plastik di Indonesia dengan barang impor akibat besarnya biaya birokrasi di negeri sendiri. "Kalau produk barang jadi masuk ke Indonesia pasti barang jadi di dalam negeri pasti akan 'megap-megap'. Harga dalam negeri lebih mahal karena dipengaruhi bahan baku yang kena bea masuk impor, ditambah mahal, listrik mahal. Jadi memang biaya birokrasi kita terlalu tinggi," tutupnya.