Industri Hulu Tekstil Indonesia Tertekan Kenaikan Harga Bahan Baku dan Produk Impor



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri hulu tekstil menghadapi banyak tantangan saat ini, di antaranya kenaikan harga minyak dunia yang ikut mengerek harga bahan baku utama Polyester dan ancaman produk impor baik yang legal maupun unprosedural mulai kembali membanjiri pasar domestik.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta memaparkan, bahan baku utama Polyester yaitu PTA sudah di level USD$ 850/ ton yang normalnya di sekitar US$ 600/ton. Jadi memang naiknya sudah tinggi karena PTA turunan dari minyak mentah. 

“Saat ini permintaan masih cukup baik, namun penjualan kami mulai tertekan karena buyer kami di pasar domestik mulai mengalami kesulitan penjualan menyusul dibukanya kembali impor tekstil untuk importir umum (API-U) oleh Kemendag,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Rabu (8/6). 


Baca Juga: APSyFI: Gempuran Produk Impor Ancam Performa Industri Tekstil di Kuartal II-2022

Redma mengungkapkan, saat ini rata-rata utilisasi pabrik hulu tekstil turun 5% menjadi 80%. Jika impor API-U terus-terusan dibuka seperti ini, pihaknya kembali pesimis, utilisasi akan turun terus.

Menurut Redma, kenaikan harga bahan baku tidak menjadi masalah karena memang harga dunia dan pihak pelaku usaha dapat menaikkan harga jual produknya. Saat ini harga jual sudah naik sekitar 5% dari harga normal. 

Namun, bagi beberapa perusahaan kenaikan ini masih rugi karena tidak sebanding dengan kenaikan harga bahan bakunya. Di sisi lain, kalau harga jual dinaikkan lebih tinggi lagi, akan menekan buyer di hilir karena mereka harus bersaing dengan barang impor. Jadi masalah utamanya adalah pasar dalam negeri di mana APSyFI sudah meminta Kemendag agar tidak memberikan izin impor untuk API-U.    

“Kalau untuk bahan baku IKM selama 3 kuartal terakhir kan kemendag tidak kasih ijin API-U dan produsen kain dalam negeri sudah terbukti mampu memenuhi kebutuhan bahan baku untuk IKM. Jadi tolong IKM jangan lagi dijadikan alasan oleh Kemendag maupun Bea Cukai,” tegasnya. 

Baca Juga: Perang Rusia-Ukraina Picu Banjir Produk Tekstil Impor, Industri Lokal Kian Tertekan

Tantangan lainnya yang dihadapi industri hulu tekstil ada di biaya energi yang akan naik karena harga DMO batubara yg dibeli PLN dinaikkan dari US$ 70 ke US$ 90 per ton. Redma bilang, hal ini membuat PLN harus menaikkan harga jual. 

“Ini adalah kebijakan blunder, di mana pemerintah sangat terlihat memihak kepada para penambang batu bara dan mengorbankan industri manufaktur sebagai pencipta lapangan kerja (padat karya),” ujarnya. 

Meskipun kinerja industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di kuartal pertama 2022 tumbuh 12,45%  year on year (yoy) tidak lantas membuat para pemain di sektor ini bisa tenang menghadapi kuartal berikutnya hingga akhir tahun. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .