KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan bahan baku kabel, yakni komoditas seperti aluminium dan tembaga, terus menekan margin keuntungan para produsen. Meskipun secara volume permintaan kabel dapat meningkat, namun hal tersebut disertai beban produksi yang kian meninggi. Noval Jamalullail, Ketua Umum Asosiasi Pabrik kabel Listrik Indonesia (Apkabel) menguraikan, betapa harga aluminum dunia di April 2018 lalu sempat menyentuh angka US$ 2.600 per tonnya. "Harga terus merangkak naik, contoh di 2016 lalu (aluminium) masih US$ 1.500/ton, lalu di 2017 menjadi US$ 2.000/ton," sebutnya kepada Kontan.co.id, Jumat (25/5). Sementara itu saat ini menurut Noval harga aluminium masih tinggi di kisaran US$ 2.300/ton. Hal ini tentu akan membebani produsen kabel yang banyak melayani kontrak pembelian jangka panjang.
Padahal sebagian besar, serapan untuk kabel listrik aluminium penyerapannya didominasi oleh kontrak berjangka proyek 35.000 megawatt PLN. "Tentu risikonya (kontrak jangka panjang) cukup besar, apalagi saat awal tender harga US dolar masih Rp 13.500," terang Noval. Dengan melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS menjadi tantangan tambahan bagi para produsen kabel. Di sisi lain, pabrikan kabel tidak dapat menggunakan mekanisme hedging untuk pembelian bahan baku ini. Menurut, Noval, hal tersebut dikarenakan perbankan melihat probabilitasnya terlalu besar di mana fluktuasi harga aluminium di luar prediksi. "Jadi mereka rata-rata
booking langsung, order dalam waktu pendek untuk persediaan misalnya per tiga bulan atau enam bulan saja," urai Noval. Sementara itu produsen seperti, PT KMI Wire and Cable Tbk (
KBLI) mengatakan bahwa fasilitas hedging di Indonesia saat ini masih belum mapan. "Tapi kami masih kaji opsi untuk melakukan itu, apakah dari segi risiko dan biayanya seimbang," sebut Gabriela Lili, Direktur PT KBLI saat paparan publik perseroan berlangsung, Jumat (25/5). Mekanisme hedging dirasakan akan memakan biaya besar bagi perseroan. Apalagi saat ini pabrikan semakin ditekan, oleh kenaikan harga bahan baku yang rata-rata telah melonjak 23% selama 2016-2017. Meski demikian KBLI masih optimistis dapat tumbuh 20% tahun ini. Sedangkan untuk bottom line, selain karena bahan baku yang naik, kompetisi di tingkat pasar semakin ketat. "Paling tidak untuk
bottom line kami harapkan dapat stabil atau relatif sama dengan tahun lalu," sebut Dede Suhendra, Direktur PT KBLI ditemui di paparan publik yang sama, Jumat (25/5). Sedangkan produsen kabel seperti, PT Jembo Cable Company Tbk (
JECC) mengaku optimistis dalam melihat peluang bisnis di 2018 ini. Proyek infrastruktur dari pemerintah masih menjadi pemicu pertumbuhan bisnis perseroan. Antonius Benady, Direktur PT JECC mengatakan pertumbuhan bisnis di tahun ini dipatok tumbuh sekitar 15%. "Bisnis kabel masih baik di tahun ini, apalagi proyek jaringan listrik 35.000 megawatt masih terus dilaksanakan," ungkapnya.
Perseroan diketahui melakukan penyesuaian harga lantaran kenaikan harga bahan baku saat ini. Meski demikian perseroan belum ingin membeberkan patokan perolehan laba bersih di tahun ini "Kami sebenarnya berharap di pertengahan 2018 ini harga bahan baku dapat lebih stabil," sebut Antonius. Ia mencatat kenaikan rata-rata bahan baku kabel yang dirasakan JECC mencapai 11% Untuk itu perseroan berharap di pertengahan tahun ini harga bahan baku dapat kembali normal. Sehingga JECC masih optimistis dapat tumbuh positif di sepanjang 2018. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia