Industri kemasan terseret rupiah



JAKARTA. Pelemahan mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) membuat pengusaha kemasan kalang kabut. Sebab, banyak pengusaha kemasan membeli bahan baku kemasan denganĀ  kurs dolar AS, tapi menjualnya dengan rupiah.

Henky Wibowo, Ketua Umum Federasi Pengemasan Indonesia bilang, 50% bahan baku kemasan berupa polipropilena, polietilena, poliester impor dari Timur Tengah. "Kami membeli bahan baku tersebut dengan dolar AS yang mahal dan menjualnya dalam rupiah yang nilainya lebih murah," ujar Henky kepada KONTAN Selasa (4/3).

Salah satu bentuk kerugian yang terjadi akibat fluktuasi kurs ini adalah, produsen kemasan banyak yang mematok kontrak penjualan dengan acuan dolar AS pada posisi Rp 12.000 per dolar AS. Jika posisi dolar menguat hingga mencapai posisi Rp 13.000 per dolar AS, maka selisih nilai tukar menjadi tanggungan produsen kemasan.


Perlu diketahui, 60% sampai 70% biaya produksi kemasan berasal dari pembelian bahan baku. Sisanya 20% berasal dari beban logistik dan 10% dari proses produksi manufaktur. Untuk mengatasi dampak melemahnya rupiah ini, Henky meminta pemerintah memberikan keringanan fiskal.

Bentuk keringanan fiskal yang diusulkan adalah, pembebasan bea masuk bahan baku atau pengurangan bea masuk dari 10% menjadi 5%. Jika ada pembebasan atau pengurangan bea masuk ini, Henky berharap industri kemasan bisa terhindar dari potensi kerugian.

"Di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand telah membebaskan bea masuk bahan baku biji plastik. Sementara kami dikenakan bea masuk 10% yang tentu saja mengurangi daya saing kami," kata Henky.

Sebagai catatan, tahun ini, industri kemasan membidik pertumbuhan bisnis 10%. Mengacu target ini artinya target penjualan Rp 77 triliun. Sebab, tahun lalu penjualan kemasan diprediksi mencapai Rp 70 triliun. "Target ini agak berat tercapai jika kurs membebani kami," kata Henky.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Antonius Muhartoyo, Presiden Direktur PT Champion Pacific Indonesia Tbk (IGAR). Antonius menjelaskan, pelemahan rupiah membuat dirinya pening memikirkan kontrak harga jual kemasan.

"Kami sudah sepakati negosiasi kontrak harga per tahun dengan perusahaan farmasi. Jika rupiah melemah, kemungkinan kami rugi kurs," kata Anton. Untuk diketahui, bahan baku IGAR banyak yang impor, sebagian ada dari dalam negeri, tapi pembeliannya menggunakan dollar AS.

Jika rupiah terus melemah, kinerja IGAR berpotensi tertekan. Apalagi 72% beban produksi perusahaan berasal dari bahan baku yang dibeli dengan dolar AS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie