Industri keramik dan kaca terhambat gas



JAKARTA. Kalangan pengusaha keramik bimbang untuk melakukan ekspansi pabrik tahun depan. Alasannya, pasokan gas yang akan dialokasikan ke industri tahun depan tetap jauh dari kuota, seperti terjadi pada tahun ini.

Elisa Sinaga, Sekretaris Jenderal Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), bilang, industri keramik sebenarnya membutuhkan pasokan gas sebanyak 120 juta kaki kubik per hari (mmscfd) tahun ini dan tahun depan industri tersebut memerlukan gas lebih dari 130 mmscfd. Namun kebutuhan tersebut tahun ini saja tidak terpenuhi. "Tahun ini, kami hanya mendapat 65 mmscfd," keluh Elisa, akhir pekan lalu.

Menurut Elisa, untuk memperbesar produksi, industri membutuhkan kenaikan pasokan gas rata-rata 10% per tahun. Namun, sampai saat ini belum ada tanda-tanda pemerintah akan memenuhi kebutuhan mereka. "Akibatnya, anggota kami belum menentukan ekspansi tahun depan," jelas Elisa. Catatan saja, kapasitas produksi keramik nasional saat ini 330 juta m2.


Elisa enggan menyebutkan nama-nama perusahaan keramik yang terhambat ekspansinya tersebut. Sampai saat ini, menurut catatan Asaki, investasi keramik yang sudah pasti adalah pembangunan sebuah pabrik di Tanjung Siapi-api, Sumatera Selatan.

Elisa yakin, kekurangan gas juga terjadi pada industri lain. Soalnya, mengacu pada data Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), kebutuhan gas nasional tahun ini sebesar 2.900 mmscfd, tapi baru terpenuhi 840 mmscfd. "Sebenarnya, FIPGB sudah menandatangani kesepakatan dengan PGN untuk pemenuhan gas, tapi sampai saat ini belum ada realisasi dan perubahannya," jelas Elisa.

Benar saja. Samuel Rumbaja, Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP), mengatakan, perkembangan industri kaca juga terhambat minimnya pasokan gas. Gara-gara masalah gas tersebut, kata Samuel, sampai saat ini baru ada sembilan unit tungku produksi kaca, kalah jauh dari China yang memiliki 200 unit.

Franky Sibarani, Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo), bilang, industri domestik bagaikan anak tiri dalam soal gas ini. Soalnya, gas lebih banyak diekspor ke luar negeri seperti ke China, Singapura, dan Jepang. "Padahal, ada 332 perusahaan domestik (di luar PLN) yang butuh gas, tetapi pemerintah malah membatasinya," keluh Franky.

Panggah Susanto, Direktur Jendeal Basis Industri Manufaktur Kementrian Perindustrian, bilang, ia sedang membahas masalah ini dengan kementerian lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini