KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengakui ada banyak tantangan sepanjang tahun 2024 yang berdampak signifikan bagi kinerja industri keramik nasional. Ketua Umum Asaki Edy Suyanto mengatakan, penurunan daya beli masyarakat yang diperparah dengan serbuan produk keramik impor dari China dan India serta gangguan suplai gas dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sangat mempengaruhi kelangsungan bisnis keramik dalam negeri.
Baca Juga: Industri Manufaktur Hadapi Sederet Tantangan Hambatan ini membuat tingkat utilisasi kapasitas produksi industri keramik nasional turun menjadi sekitar 66% pada 2024. Pada 2023 lalu, utilisasi produksi industri keramik berada di kisaran level 69%, sedangkan pada 2022 silam ada di level 78%. Tingkat utilisasi industri keramik tetap bertahan di level 66% dan tidak turun lebih dalam berkat kebijakan pemerintah yang memberlakukan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap keramik impor asal China dan kebijakan SNI Wajib untuk keramik pada Oktober lalu. “Namun, Asaki terus menagih dan mendesak Kementerian Keuangan perihal lambannya penetapan perpanjangan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atas keramik impor dari China, India, dan Vietnam yang telah habis masa berlakunya pada November lalu,” ungkap dia, Senin (24/12).
Baca Juga: Produk Lantai Indonesia Raup Potensi Transaksi Rp12,46 Miliar di Japan BuildTokyo2024 Asaki cukup percaya diri prospek industri keramik nasional pada 2025 dapat pulih kembali dengan tingkat utilisasi produksi nasional tumbuh ke kisaran level 75% sampai 80%, atau setidaknya menyerupai capaian utilisasi pada 2022 silam. Proyeksi ini didukung oleh berlakunya BMAD atas keramik impor China serta harapan bahwa program pembangunan 3 juta rumah dapat berjalan pada 2025 nanti. “Kebijakan ini akan menciptakan permintaan keramik yang signifikan sekitar 100 juta—110 juta meter persegi dengan asumsi tipe rumah ukuran 36 meter persegi atau setara dengan peningkatan utilisasi produksi sekitar 15%,” terang Edy.
Baca Juga: Geliatkan Manufaktur, Pemerintah Beri Insentif bagi Pelaku Industri dan Masyarakat Namun, rencana pemerintah mengerek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 6,5% turut menjadi tantangan bagi industri keramik pada 2025 mendatang. Di samping itu, tantangan juga muncul dari gangguan suplai gas oleh PGN yang berlarut-larut di tengah berlanjutnya program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Para produsen keramik tentu diwajibkan mengejar efisiensi biaya produksi untuk mengantisipasi penurunan daya beli masyarakat sekaligus meningkatkan kinerja ekspor. Kembali lagi, kedua hal itu sangat bergantung kepada kelancaran suplai gas dari PGN karena erat kaitannya dengan daya saing industri keramik, di mana komponen gas berkontribusi 30% terhadap biaya produksi.
Baca Juga: HGBT Bak Pisau Bermata Dua, Gerus Keuntungan Industri Gas tapi Laba Penerima Tebal Oleh karena itu, Asaki sangat meminta keseriusan Kementerian ESDM untuk mencari solusi terbaik bagi industri pengguna gas bumi yang harus membayar
surcharge gas yang sangat mahal yakni US$ 13,85 per MMBTU. Alhasil, para produsen sulit bersaing dengan produk impor maupun merebut pasar keramik di kawasan Asia Tenggara. Asaki juga berharap pemerintah segera memperpanjang BMTP keramik, perpanjangan kebijakan HGBT, mencarikan solusi bersama PGN terkait gangguan suplai gas yang mana pelaku industri dibatasi pemakaian HGBT sebesar 65%--67% dari volume kontrak gas, serta menetapkan pelabuhan impor keramik di luar Pulau Jawa agar segera teralisasi. Hal ini demi mewujudkan kenaikan utilisasi produksi keramik dari 66% pada 2024 menjadi 75%--80% pada 2025.
“Semua itu akan memberikan multiplier effect yang besar, seperti investasi baru dan penyerapan jumlah tenaga kerja, di samping kontribusi pembayaran pajak kepada negara,” pungkas Edy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto