Pemerintah menetapkan roadmap Industri 4.0 agar masuk dalam Top 10 negara pada tahun 2030. Konsep Industri 4.0 menggunakan sistem cyber-physical yang mengintegrasikan manusia, mesin, data dengan lini produksi secara digital dan realtime melalui internet. Sistem tersebut mencakup penggunaan internet untuk segala (IoT), autonomous robot, big data dan quantum computing. Pemerintah telah memilih lima sektor industri utama yang akan menerapkan Industri 4.0. Salah satunya adalah industri makanan dan minuman. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) memperkirakan, industri makanan dan minuman skala menengah besar dapat meningkat hingga 50% pada tahun 2025 jika menerapkan sistem itu. Sementara kami menilai, ada tiga hal strategi dalam industri makanan dan minuman. Pertama, industri makanan dan minuman berkontribusi 30,5% terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan 2017. Porsi itu meningkat ketimbang catatan 2010 yakni 23,8%.
Tahun lalu, industri makanan dan minuman juga mencatatkan pertumbuhan hingga 9,2%. Pencapaian itu lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan industri pengolahan secara keseluruhan yakni 4,3% dan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,07%. Kedua, industri makanan dan minuman memiliki potensi pengembangan pasar yang besar. Populasi penduduk yang besar dan pertumbuhan kelas menengah menjadi basis pasar domestik. Sementara ekspor makanan dan minuman Indonesia juga menunjukkan trend peningkatan. Ketiga, industri makanan dan minuman menyerap 4,73 juta orang atau sekitar 27% dari total tenaga kerja sektor industri pada tahun lalu. Selanjutnya, peningkatan sektor itu diharapkan berdampak pada kesejahteraan tenaga kerjanya. Sejumlah pemain industri makanan dan minuman telah menerapkan Industri 4.0 meski belum sepenuhnya. Contohnya, PT Coca Cola Amatil Indonesia yang menerapkan program digitalisasi di area supply chain dan layanan penjualan. PT Indolakto, bagian dari Grup Indofood juga telah menerapkan sistem automatisasi pergudangan melalui automated storage & retrieval system (ASRS). Namun, kami melihat masih banyak tantangan dan kendala yang dihadapi industri makanan dan minuman untuk menerapkan sistem Industri 4.0. Sebut saja, keterbatasan modal investasi. Padahal penerapan teknologi tinggi tentu memerlukan investasi besar. Kendala lain, jumlah dan kesiapan vendor penyedia sistem teknologi Industri 4.0 di Indonesia masih terbatas. Lalu, kesiapan sumber daya manusia yang kompeten. Penerapan teknologi industri 4.0 yang cukup kompleks seringkali membutuhkan pekerja yang kompeten dengan kualifikasi khusus. Tak ketinggalan, belum ada regulasi pemerintah yang secara lebih detail mendorong penerapan Industri 4.0 di berbagai skala industri. Sementara regulasi tersebut penting karena lebih dari 99% pelaku industri makanan dan minuman di indonesia berskala kecil dan mikro. Mereka rentan terhadap perubahan teknologi. Oleh karena itu, kami memandang masih perlu beberapa upaya strategis lain guna mendorong implementasi Industri 4.0. Pemerintah perlu merumuskan roadmap dan prioritas yang lebih jelas untuk tahap jangka pendek, menengah dan panjang.
Perlu juga dukungan pemerintah melalui insentif fiskal seperti penundaan dan pemotongan pajak tertentu (tax allowance dan tax holiday) dalam implementasi teknologi Industri 4.0. Pasalnya, modal investasi yang diperlukan cukup besar. Selain itu, harus ada sinergi dan koordinasi antarkementerian dan kelembagaan yang lebih baik. Secara bersamaan, peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mampu menguasai teknologi digital dan mengintegrasikan penggunaan internet juga perlu ditingkatkan melalui pendidikan vokasi. Pada akhirnya, kita semua tentu berharap agar implementasi Industri 4.0 berjalan sesuai dengan roadmap yang telah ditetapkan. Dengan begitu, sistem tersebut dapat mendorong efisiensi serta meningkatkan kinerja dan daya saing industri makanan dan minuman Indonesia di pasar global. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi