KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, industri pengolahan sebagai penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB), pada kuartal ketiga 2017 tumbuh 4,84%
year on year (YoY). Pertumbuhan ini menjadi pertumbuhan industri pengolahan tertinggi sejak kuartal ketiga 2014.
Menilik data BPS, industri pengolahan di kuartal ketiga 2014 tumbuh 4,61% YoY. Padahal di pada kuartal kedua 2014 ke belakang, pertumbuhan industri masih bisa melebihi angka 5% YoY.
Meski pertumbuhannya membaik, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, kinerja industri pengolahan kuartal ketiga tahun ini belum cukup tinggi, masih di bawah 5% YoY. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga 2017 tidak tumbuh terlalu tinggi, hanya 5,06% YoY.
Menurutnya, pemerintah harus fokus pada sektor ini. Jika bisa tumbuh di atas 5%, maka ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih tinggi lagi.
"Kalau pemerintah bisa fokus pada sektor ini, penyerapan tenaga kerja akan terlihat. Pada akhirnya akan mendorong sisi konsumsi masyarakat sendiri," kata Josua kepada Kontan.co.id, Senin (6/11).
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, meski pertumbuhannya lebih tinggi, kontribusi sektor ini terhadap PDB menurun menjadi di bawah 20%. Hal itu menandakan terus berjalannya deindustrialiasi.
"Artinya pertumbuhan industri perlu tumbuh di atas 6% untuk bangkit dari kelesuan. Tetapi saya optimistis sektor ini bisa tumbuh lebih tinggi dari kuartal ketiga 2017," kata Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (6/11).
Namun, dengan catatan bahwa industri pengolahan harus berorientasi ekspor. Sebab, pasar domestik masih stagnan dengan tren konsumsi rumah tangga yang melemah.
Bhima bilang, diperlukan peran pemerintah untuk memfasilitasi industri dengan aneka insentif. Penyelamatnya, bisa dimulai dari penurunan biaya utilitas yakni harga gas dan listrik.
"Janji paket kebijakan harga gas industri murah harus segera direalisasikan. Kemudian pemerintah bisa memberikan diskon tarif listrik bukan saja untuk industri padat karya tapi industri manufaktur lainnya," tambah Bhima.
Selain itu, melalui stabilisasi kurs rupiah. Sebab tekanan kurs membuat biaya impor bahan baku dan barang modal naik signifikan, mengingat beberapa industri porsi bahan baku impornya mencapai 70%. Selain itu, stabilitas kurs juga penting agar beban utang luar negeri swasta berkurang.
"Perbaikannya butuh waktu cukup lama karena masalahnya struktural. Tetapi akan membaik secara bertahap," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto