KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku industri di Tanah Air sedang gundah gulana. Sebab, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN/
PGAS) ingin mengubah kontrak dengan menaikkan harga gas industri. Padahal, pebisnis berharap harga gas bisa lebih murah setelah PGN dan Pertagas bersatu dalam holding migas. Kondisi ini menjadi tantangan bagi industri yang menjadikan gas sebagai sumber bahan bakar utama, seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta keramik. Bagi industri hulu tekstil, komponen gas menyumbang 20%-25% dari ongkos produksi. Sedangkan bagi industri keramik, gas berkontribusi sebesar 30%-35% terhadap biaya produksi atau menjadi bahan baku utama.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta menyebutkan, setelah Pertagas melebur ke PGN, kemungkinan harga gas malah naik. "Belum ada kisaran kenaikannya, tapi pihak PGN sudah datang ke perusahaan dan meminta kontrak ulang," sebut Redma ke KONTAN, Kamis (26/7). Produsen benang filamen seperti PT Asia Pacific Fibers Tbk (
POLY) mengharapkan harga gas bisa turun sesuai dengan Perpres Nomor 40/2016. "Harapannya agar harga bisa kompetitif setelah ada merger," ungkap
Assistant President Director Corporate Communications POLY, Prama Yudha Amdan ke KONTAN, Kamis (26/7). Perusahaan ini berharap pemerintah lebih ramah terhadap industri. Dengan merger Pertagas-PGN yang berimbas pada efisiensi dan harga gas yang kompetitif, POLY meyakini permintaan gas di kalangan industri akan bertumbuh. "Tentu ada korelasinya, konsumsi gas dapat naik memacu industri dan pada akhirnya perekonomian bergerak," sebut Yudha. Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki), Elisa Sinaga, mengatakan pebisnis keramik pernah meminta setidaknya harga gas di area Jawa Barat dan Jawa Timur bisa sama. Sebab, hingga saat ini perbedaannya bisa sebesar 13%, dimana harga gas di Jabar sekitar US$ 9,16 per mmbtu dan di Jatim senilai US$ 7,98 per mmbtu. Ditambah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, menurut dia, pengusaha semakin tertekan. "Dengan fluktuasi ini, harga gas dengan dollar AS ini juga bakal menekan kami. Padahal komponen gas terhadap kontribusi produksi kira-kira 30%," ungkap Elisa. Saat ditanya ihwal PGN akan menaikkan harga gas industri, Direktur Utama PGN Jobi Triananda Hasjim Jobi malah balik bertanya kepada KONTAN. "Boleh tahu, industri (yang terkena kenaikan harga) yang dimaksud?" ungkap dia kepada KONTAN, Kamis (26/7) lalu. Saat dikonfirmasi kembali soal berapa kenaikan harganya, Jobi malah irit menjawab. "Saya cek dulu, nanti saya hubungi ya," ujar dia. Kabarnya, rata-rata harga gas naik dari semula US$ 8 per mmbtu menjadi US$ 9,5 per mmbtu. Senada dengan asosiasi, pelaku industri seperti PT Arwana Citramulia Tbk (
ARNA) juga menyebutkan persaingan lebih sehat akan tercipta dengan harga gas yang lebih baik bagi iklim industri. "Kami juga mohon perhatiannya soal harga gas yang lebih bersaing," sebut Edy Suyanto, Direktur Arwana kepada KONTAN, Jumat (26/7). Kondisi saat ini, menurut Edy, industri keramik sudah cukup diterpa hambatan, misalnya impor keramik yang marak di dalam negeri. Dalam tiga tahun belakangan ini, impor meningkat di pasaran. Namun demikian, Arwana terus menggali potensi pasar baru di dalam negeri. Meski penjualan di segmen proyek dan properti bagi bisnis keramik masih lesu, pasar ritel disinyalir masih bertumbuh.
Oleh karena itu, perusahaan yang berkode saham ARNA di Bursa Efek Indonesia ini berencana memperkuat jaringan distribusi ritelnya. Arwana berencana menambah sub-distributor di luar Jawa. "Di semester kedua kami akan menambah sub-distributor di Aceh, Ambon, Singkawang dan Kupang untuk melengkapi 46 sub-distributor yang telah tersebar di seluruh Indonesia," urai Edy. ARNA juga menargetkan mampu memperkuat pasar ritel melalui outlet modern bahan bangunan di kota-kota besar di Indonesia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia