Industri Multifinance Lebih Selektif Ajukan Pendanaan dari Luar Negeri, Ini Sebabnya



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pendanaan yang diterima perusahaan pembiayaan (multifinance) dari luar negeri ternyata terus mengalami koreksi. Perusahaan pembiayaan pun lebih mengandalkan pinjaman dari dalam negeri ketimbang dari luar negeri.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per April 2022 pendanaan dari luar negeri yang diterima multifinance mengalami penurunan menjadi sebesar Rp 67,4 triliun atau minus 21,6% year on year (yoy) dari tahun lalu yang sebesar Rp 86,02 triliun. Untuk pendanaan dari bank luar negeri nilainya mencapai Rp 47,31 triliun, atau turun 30,97% yoy.

Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan (APPI) Suwandi Wiratno Suwandi mengungkap adanya kemungkinan entitas luar negeri mulai lebih memprioritaskan penyaluran kredit terkait green financing (pembiayaan hijau).


"Artinya bahwa karena saat itu juga banyak bank-bank luar negeri mungkin melihat bahwa pembiayaan pada perusahaan-perusahaan Indonesia mulai pakai green energy, mulai ke mobil listrik tapi kan tidak bisa cepat jadi bank-bank di luar negeri karena mereka punya komitmen yang tinggi terhadap membirukan langit, jadi mereka mungkin konsolidasi dulu bagaimana kalau memberikan pendanaan ke Indonesia," jelas Suwandi kepada kontan.co.id, Minggu (12/6).

Baca Juga: Pefindo Beri Peringkat idAA untuk Obligasi SAN Finance

Diketahui bersama, pendanaan ke sektor-sektor pertambangan, terutama batu bara, memang bertahap dikurangi. Padahal, sektor ini masih menjadi andalan pendongkrak piutang pembiayaan.

"Pemerintah Amerika kan diperintahkan untuk terus menaikkan suku bunga kalau dia naik nanti kita pinjam tidak bisa pakai juga untuk apa? berbalik dengan situasi yang ada di bank-bank Indonesia, likuiditasnya ample, perusahaan-perusahaan juga sebaiknya konsolidasi ke dalam aja pinjam dari dalam negeri," kata Suwandi.

Selain itu, Suwandi menyebut, perusahaan pembiayaan juga memikirkan kalau pinjam dolar saat ini.

Selain itu, disebut Suwandi bahwa, perusahaan pembiayaan yang berencana menerima pinjaman dalam valuta asing, terutama dolar AS juga tengah memikirkan apakah risikonya tinggi apabila rupiah melemah dan dolar AS meningkat seandainya headging cost nya tinggi.

Karena Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed) berencana menaikkan suku bunga acuan. Kebijakan kenaikan suku bunga ini akhirnya terealisasi pada awal Mei 2022 sebesar 50 basis poin (bps) di luar negeri dari bank-bank asing, dan mereka memberikan pinjaman ada risiko terhadap fluktuasi mata uangnya yang dikhawatirkan yang selama ini stabil mungkin bisa terjadi pergerakan yang tidak tahu kemana.

"Suku bunga The Fed yang akan meningkat juga nanti berpengaruh terhadap pinjaman kalau di dalam negeri kan pinjamannya sudah pasti rupiah kalaupun naik ya nanti ada ketentuan dari debitur yang baru bisa disesuaikan berapa besar," sambung Suwandi.

Seperti diketahui, pendanaan yang diterima industri multifinance dari dalam negeri per April 2022 berhasil mencapai Rp 151,21 triliun atau tumbuh 14,1% secara yoy. Selain itu, untuk porsi pendanaan dari bank dalam negeri, nilainya berhasil mencapai Rp 145,85 triliun, atau tumbuh 15,48% yoy.

Baca Juga: PermataBank Pimpin Sindikasi Fasilitas Kredit Rp1,2 Triliun bagi Mandala Multifinance

Menurut Suwandi, pendanaan dari dalam negeri cenderung lebih aman, lebih bisa terkontrol karena pinjamannya dalam bentuk rupiah. Sementara, manakala pinjaman dolarnya murah dan headging costnya stabil pinjaman luar negeri juga bisa tetap didapatkan.

"Artinya bahwa apakah pinjaman luar negeri ini tidak akan diproses atau tidak akan di cari oleh perusahaan pembiayaan di dalam negeri? kita tau bersama pasti ada yang namanya hubungan kan harus tetap dijaga tetapi versi pinjaman luar negerinya mungkin tidak terlalu besar, kita bisa dapatkan dari dalam negeri kenapa harus ke luar negeri," imbuh Suwandi.

Kendati bakal ada potensi kenaikan suku bunga perbankan dalam negeri yang bisa berdampak kepada naiknya biaya dana (cost of fund), industri multifinance dinilai telah siap mengantisipasinya.

Suwandi menjelaskan, suku bunga yang dikenakan bank terhadap multifinance biasanya bersifat tetap, sama seperti bunga pembiayaan dari para pemain multifinance terhadap para debitur. Oleh sebab itu, apabila ada kenaikan suku bunga bank, pemain multifinance biasanya baru akan menyesuaikan kenaikannya setelah beberapa bulan berselang, dan hanya dikenakan terhadap debitur baru.

Asal tahu saja, Bank Indonesia akan melakukan penyesuaian secara bertahap giro wajib minimum rupiah. Aturan giro minimum bank konvensional ini akan kembali dikerek menjadi 7,5% pada 1 Juli 2022, dan menjadi 9% mulai 1 September 2022. 

Sementara, kewajiban minimum GWM rupiah untuk bank umum syariah dan unit usaha syariah yang saat ini 4% naik menjadi 4,5% mulai 1 Juni 2022, menjadi 6% mulai 1 Juli 2022 dan menjadi 7,5% mulai 1 September 2022.

Salah satu perusahaan pembiayaan PT Indomobil Finance juga mengakui bahwa, pendanaan dari luar negeri terlihat menurun kemungkinan karena adanya angsuran pembayaran pokok yang biasanya dilakukan setiap 3 bulanan.

"Beberapa bulan terakhir memang pinjaman luar negeri mengalami pelambatan yang disebabkan tidak digunakannya lagi London Inter-bank Offered Rate (LIBOR) sebagai benchmark suku bunga pinjaman. Perbankan dan debitur mencari instrumen/benchmark lain untuk menggantikannya," ujar CEO Indomobil Finance Gunawan Effendi.

Baca Juga: Bakal Jatuh Tempo, Obligasi Mandala Multifinance Raih Peringkat idA

Akhirnya kata Gunawan, disepakai menggunakan Secured Overnight Financing Rate (SOFR), tetapi masih diperlukan konsesus antara pemberi pinjaman dan peminjam bagaimana cara menentukan angkanya mengingat periode SOFR berbeda dengan periode bunga pinjaman.

Gunawan menerangkan, saat ini sudah ada beberapa loan deal yang akan menggunakan Term SOFR karena sifatnya yang lebih mirip dengan LIBOR. Sementara itu, Indomobil sendiri sedang memproses pinjaman sindikasi yang ke 12 kalinya saat ini berupa pinjaman offshore dari bank-bank luar negeri, dan diharapkan bisa di ketahui jumlahnya pada bulan Juli 2022.

Pinjaman sindikasi offshore adalah strategi sumber pendanaan perusahaan selain juga mendapatkan dari pasar modal dalam bentuk penerbitan obligasi serta tentunya dukungan dari perbankan dalam bentuk bilateral loan baik short-term maupun long-term loan.

"Kami juga menyiapkan plafond hedging/lindung nilai dengan beberapa bank yang bertindak sebagai SWAP Provider, karena kebijakan kami adalah 100% pinjaman dalam mata uang asing harus dilakukan lindung nilai agar resiko fluktuasi nilai tukar dan tingkat bunga bisa lebih terjaga," kata Gunawan.

Direktur Utama Mandiri Utama Finance (MUF) Stanley Setia Atmadja juga menyampaikan, kalau sampai saat ini perusahaan masih mengandalkan pendanaan dari dalam negeri untuk mendukung pembiayaan yang disalurkan.

"Belum ada pendanaan dari luar negeri. Hal ini tidak terlepas dengan strategi pendanaan MUF yang terkait dengan skema pembiayaan bersama dengan group induk (Bank Mandiri)," kata Stanley.

Strategi pendanaan MUF memang berfokus pada skema pendanaan joint financing (pembiayaan bersama), khususnya dengan induk perusahaan dan group (Bank Mandiri dan BSI). Dimana saat ini skema joint financing berkontribusi terhadap porsi pendanaan antara 70%-75%. Sehingga kebutuhan pendanaan eksekuting diluar joint financing tidak terlalu besar.

"Dengan skema tersebut, pendanaan sampai akhir tahun cukup aman untuk mendukung pembiayaan yang sudah direncanakan. Saat ini komitmen pendanaan eksekuting sudah didapatkan untuk memenuhi kebutuhan per bulan antara Rp 300 miliar hingga Rp 400 miliar samapi akhir tahun," terang Stanley.

Baca Juga: Bakal Jatuh Tempo, Obligasi Mandala Multifinance Raih Peringkat idA

PT CIMB Niaga Auto Finance (CNAF) juga masih mengandalkan pendanaan yang bersumber dari pembiayaan Bersama (JF) dengan induk usaha dan pinjaman bank.

Seiring pertumbuhan asset di CNAF dan kepercayaan dari bank-bank, nilai saldo pendanaan CNAF mengalami kenaikan sebesar 205% atau Rp 3,92 triliun berbanding 1,29 triliun di April 2021. Selain itu, total fasilitas pinjaman bank yang masih tersedia sampai periode April 2022 sebesar Rp 3,03 triliun.

"Angka tersebut belum mempertimbangkan rencana pinjaman baru maupun rencana penerbitan Bond/SUKUK. Ketersediaan sumber pendanaan tersebut sesuai dengan strategi CNAF dalam meningkatkan asset kelolaan seiring perbaikan ekonomi sekaligus kepercayaan pasar atas kinerja CNAF yang semakin membaik," ujar ujar Presiden Direktur CNAF Ristiawan Suherman.

CNAF optimis pendanaan dari pembiyaan bersama (JF) maupun pinjaman bank tetap akan meningkat untuk mendukung kenaikan asset kelolaan. Selain itu, likuiditas perbankan masih menunjukkan angka yang cukup tinggi sehingga penyerapan untuk pembiayaan konsumsi masih dapat dilakukan. Hal ini terlihat dari rencana akad pinjaman baru dengan beberapa bank.

"Kontribusi pendanaan dari pinjaman bank sebesar 46% dari total asset kelolaan CNAF. Untuk mendukung pembiayaan tersebut, CNAF membutuhkan pendanaan baru dari pembiayaan Bersama (JF) dan pinjaman bank. Komposisi pendanaan tersebut kita jaga diangka 50:50 sehingga total pendanaan dari pinjaman bank diperkirakan sebesar 4T sampai akhir tahun 2022.

Sekadar informasi, berdasarkan data OJK per April 2022, total pendanaan yang diterima multifinance mencapai Rp 218,63 triliun. Porsinya terbagi menjadi 69,1% dari pinjaman dalam negeri atau sekitar Rp 151,21 triliun, dari porsi pinjaman luar negeri sebesar 30,9% atau sekitar Rp67,42 triliun, dan dari penerbitan surat berharga Rp55,60 triiun.

Dominasi terbesar masih diraih pendanaan bank dalam negeri sebesar Rp145,85 triliun, disusul pendanaan dari bank luar negeri senilai Rp 47,3 triliun. Sisanya, dari lembaga keuangan bukan bank dan pendanaan lembaga lain, baik dalam maupun luar negeri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli