Industri orientasi ekspor belum tentu untung saat rupiah lemah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa hari ini, nilai tukar rupiah merosot akibat tekanan di pasar global maupun domestik. Mengutip Reuters hari ini, Kamis (6/9) pukul 16.15, nilai tukar rupiah tercatat Rp 14.885 per dollar AS.

Meski dalam tren melemah, hal ini diyakini tidak terlalu mempengaruhi kinerja manufaktur yang berorientasi ekspor. Ekonom sekaligus Project Consultant ADB Institute Eric Sugandi mengatakan, industri yang berorientasi ekspor belum tentu diuntungkan dengan pelemahan rupiah.

“Industri yang berorientasi ekspor belum tentu diuntungkan dengan pelemahan rupiah jika banyak gunakan komponen impor,” ujar Eric kepada Kontan.co.id, Kamis (6/9).


Ia mengatakan, share bahan baku dan barang modal yang diimpor terhadap total bahan baku dan barang modal yang digunakan besar, maka pelemahan rupiah justru akan signifikan naikkan biaya produksi.

Selain itu, kinerja industri yang berorientasi ekspor juga ditentukan oleh demand dari negara tujuan.

Sementara itu, industri yang berorientasi pasar domestik, menurut Eric, akan diuntungkan oleh mulai pulihnya demand dari dalam negeri. “Jika tidak banyak gunakan komponen impor, pelemahan rupiah tidak naikkan biaya produksi secara signifikan,” ujarnya.

Ia mencontohkan, kalau industri plastik, pengolahan migas, dan baja, misalnya, pelemahan rupiah belum tentu menguntungkan karena industri-industri ini gunakan komponen yang diimpor.

“Tapi industri rumahan yang olah bahan makanan, pelemahan rupiah dampaknya terbatas,” kata dia.

Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia sendiri pada bulan Agustus naik menjadi 51,9, dari sebelumnya bulan Juli 50,5. Tertinggi dalam dua tahun terakhir. Hal ini lantaran domestic demand yang kuat.

Namun demikian, Ekonom IHS Markit Aashna Dodhia mengatakan, pertumbuhan yang cukup signifikan ini didorong oleh permintaan dalam negeri yang berada dalam laju paling tinggi sejak Juli 2014, berdasarkan survei.

Walaupun demikian, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyebabkan pembengkakan biaya.

“Tantangannya ke depan adalah permintaan barang produksi Indonesia dari pasar internasional terus menurun pada bulan Agustus. Dan kedua, karena rupiah Indonesia masih tertekan oleh penguatan dollar AS,” jelas Aashna.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto