JAKARTA. Industri panas bumi akan dinilai melanggar lima regulasi lantaran disebut sebagai usaha yang bergerak dalam bidang pertambangan. "Lantaran klasifikasi yang menyebut panas bumi sebagai usaha pertambangan maka setidaknya ada lima regulasi yang akan terlanggar kalau membangun usaha di hutan konservasi dan hutan lindung," tutur Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Abadi Poernomo, di sela rapat dengar pendapat (RDP) antara PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konversi Energi (EBT dan KE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Komisi VII, Kamis (19/5). Menurut Abadi, apabila aktivitas panas bumi dipaksakan untuk dilakukan di kawasan terlarang bagi pertambangan maka pengusaha panas bumi akan melanggar setidaknya lima regulasi. Yaitu, Undang-undang No41 tahun 1999 tentang Kehutanan (pasal 2, 4, dan 38), Undang-undang No5 tahun 1990 tentang Konservasi (pasal 17, 19, 31, 33, dan 34), Undang-undang No27 tahun 2003 tentang Panas Bumi (pasal 16), Peraturan Pemerintah No68 tahun 1998 tentang KSA dan KPA (pasal 20, 24, 49, 51, 52, dan 53), dan Peraturan Menteri Kehutanan P.43 tahun 2008 tentang Pedoman Izin Pinjam Pakai Hutan (pasal 7). Padahal, potensi panas bumi di Indonesia sebesar 80% berlokasi di kawasan hutan dengan porsi sebagian besar berada di hutan konservasi. Bahkan, Indonesia merupakan penyumbang 40% panas bumi dunia. Hal tersebut pun disampaikan oleh Dirjen EBT dan KE Kementerian ESDM Luluk Sumiarso yang meminta agar Komisi VII DPR mengakomodasi permasalahan itu sehingga pengembangan panas bumi tidak mesti terjegal aturan yang berkaitan dengan hutan. "Sebab, potensi panas bumi kita itu sangat besar," ujar dia. Sebagai informasi dari Badan Geologi Kementerian ESDM, sumber panas bumi di Indonesia kondisi saat ini menguasai 40% potensi dunia. Apabila diklasifikasikan sumber daya panas bumi sebesar 13.171 MW itu terbagi menjadi sumber daya spekulatif (sumber daya estimasi potensi energi didasarkan pada salah satu literatur atau penyelidikan pendahuluan) sebesar 8.780 MW dan sumber daya hipotesis (sumber daya estimasi energi didasarkan pada penyelidikan pendahuluan lanjutan) sebesar 4.391 MW. Sementara klasifikasi cadangan panas bumi yang mencapai 15.867 MW terbagi menjadi cadangan terduga (cadangan estimasi dari penyelidikan rinci) sebesar 12.756 MW, cadangan mungkin (probable) sekitar 823 MW, dan cadangan terbukti (proven) sebesar 2.288 MW. Panas bumi telah dimanfaatkan secara langsung untuk kebutuhan komersial dan industri. Kapasitas terpasang untuk menyuplai kebutuhan itu mencapai 1.189 MW dengan jumlah produksi pada rentang 2005-2010 sebesar 46.450 GWh yang setara dengan 2,8 miliar barel minyak (1 MWh sama dengan 61,50 setara barel minyak (SBM). Penggunaan panas bumi itu apabila direalisasikan optimal dapat mereduksi unsur karbon mencapai 33,23 juta ton CO2.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Industri panas bumi langgar lima regulasi
JAKARTA. Industri panas bumi akan dinilai melanggar lima regulasi lantaran disebut sebagai usaha yang bergerak dalam bidang pertambangan. "Lantaran klasifikasi yang menyebut panas bumi sebagai usaha pertambangan maka setidaknya ada lima regulasi yang akan terlanggar kalau membangun usaha di hutan konservasi dan hutan lindung," tutur Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Abadi Poernomo, di sela rapat dengar pendapat (RDP) antara PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konversi Energi (EBT dan KE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Komisi VII, Kamis (19/5). Menurut Abadi, apabila aktivitas panas bumi dipaksakan untuk dilakukan di kawasan terlarang bagi pertambangan maka pengusaha panas bumi akan melanggar setidaknya lima regulasi. Yaitu, Undang-undang No41 tahun 1999 tentang Kehutanan (pasal 2, 4, dan 38), Undang-undang No5 tahun 1990 tentang Konservasi (pasal 17, 19, 31, 33, dan 34), Undang-undang No27 tahun 2003 tentang Panas Bumi (pasal 16), Peraturan Pemerintah No68 tahun 1998 tentang KSA dan KPA (pasal 20, 24, 49, 51, 52, dan 53), dan Peraturan Menteri Kehutanan P.43 tahun 2008 tentang Pedoman Izin Pinjam Pakai Hutan (pasal 7). Padahal, potensi panas bumi di Indonesia sebesar 80% berlokasi di kawasan hutan dengan porsi sebagian besar berada di hutan konservasi. Bahkan, Indonesia merupakan penyumbang 40% panas bumi dunia. Hal tersebut pun disampaikan oleh Dirjen EBT dan KE Kementerian ESDM Luluk Sumiarso yang meminta agar Komisi VII DPR mengakomodasi permasalahan itu sehingga pengembangan panas bumi tidak mesti terjegal aturan yang berkaitan dengan hutan. "Sebab, potensi panas bumi kita itu sangat besar," ujar dia. Sebagai informasi dari Badan Geologi Kementerian ESDM, sumber panas bumi di Indonesia kondisi saat ini menguasai 40% potensi dunia. Apabila diklasifikasikan sumber daya panas bumi sebesar 13.171 MW itu terbagi menjadi sumber daya spekulatif (sumber daya estimasi potensi energi didasarkan pada salah satu literatur atau penyelidikan pendahuluan) sebesar 8.780 MW dan sumber daya hipotesis (sumber daya estimasi energi didasarkan pada penyelidikan pendahuluan lanjutan) sebesar 4.391 MW. Sementara klasifikasi cadangan panas bumi yang mencapai 15.867 MW terbagi menjadi cadangan terduga (cadangan estimasi dari penyelidikan rinci) sebesar 12.756 MW, cadangan mungkin (probable) sekitar 823 MW, dan cadangan terbukti (proven) sebesar 2.288 MW. Panas bumi telah dimanfaatkan secara langsung untuk kebutuhan komersial dan industri. Kapasitas terpasang untuk menyuplai kebutuhan itu mencapai 1.189 MW dengan jumlah produksi pada rentang 2005-2010 sebesar 46.450 GWh yang setara dengan 2,8 miliar barel minyak (1 MWh sama dengan 61,50 setara barel minyak (SBM). Penggunaan panas bumi itu apabila direalisasikan optimal dapat mereduksi unsur karbon mencapai 33,23 juta ton CO2.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News