JAKARTA. Industri pengemasan memprotes kebijakan pemerintah yang tidak juga menurunkan bea masuk (BM) untuk bahan baku plastik. Memang, saat ini pemerintah masih menerapkan BM 15% untuk polypropylene (PP) dan polyethylene (PE) dari luar ASEAN. Sementara berdasarkan perjanjian regional, impor PP dan PE asal ASEAN dikenakan BM 0%.BM bahan baku plastik asal luar ASEAN yang masih tinggi ini praktis memberatkan pengusaha. Pasalnya, setiap tahun industri pengemasan membutuhkan sekitar 800.000 ton-1 juta ton bahan baku plastik. Selama ini, industri dalam negeri mendapat pasokan PE dan PP dari Malaysia, Thailand, Timur Tengah, dan Qatar.Menurut Yoesoef Santo, Direktur Hubungan Industri dan Pemerintah Federasi Pengemasan Indonesia (FPI), bahan baku dari Thailand dan Malaysia itu relatif lebih mahal ketimbang dari Qatar dan Timur Tengah. Di samping itu, kedua negara Asia Tenggara itu pun masih menggunakan teknologi usang dalam memproduksi bahan baku plastik.Karena itu, Yoesoef menilai, BM 0% untuk bahan baku plastik seharusnya berlaku untuk semua negara. Dia memahami, regulasi BM merupakan upaya melindungi industri hulu. Namun, industri hulu yang sebagian besar dikuasai pengusaha asing dan swasta lokal menurut Yoesoef kurang bisa bersaing lantaran menggunakan teknologi usang.Akibatnya, industri berbasis plastik pun mengandalkan pasokan impor. Catatan saja, PP dari Thailand harganya lebih murah US$ 200 per ton dari harga PP di pasar internasional yang sebesar US$ 1.400 per ton. "Tapi karena ingin lindungi industri hulu, akhirnya PE dan PP harus ikut menanggung beban Rp 5 per kemasan," ujar Yoesoef.Kondisi ini akhirnya menciptakan biaya tinggi pada produk dalam negeri. Sehingga tidak mengherankan apabila produk asal China, Thailand, atau Malaysia memiliki pasar di Indonesia. Yoesoef sendiri mengaku telah menyurati Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan untuk memperketat masuknya produk kemasan impor. Sebab, aturan Standar Nasional Indonesia (SNI) ternyata kurang mempan membendung masuknya produk impor.Sementara itu, Direktur Industri Kimia Hilir Ditjen Industri Berbasis Manufaktur Kementerian Perindustrian, Tuti Rahayu mengutarakan, sebenarnya pemerintah telah memberikan fasilitas BM ditanggung pemerintah (BMDTP) untuk industri berbasis plastik.BMDTP itu diberikan untuk bahan baku impor yang tidak ada di dalam negeri, produk jadi yang belum diproduksi di pasar domestik, atau produk jadi yang sudah diproduksi tapi jumlahnya terbatas. "Ini penawar sebelum pemerintah memutuskan penurunan BM," ujarnya.Aturan BM PP dan PE itu tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 19 tahun 2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Produk-Produk Tertentu. Melalui PMK 19 ini, pemerintah berniat menggairahkan industri hulu yang dapat menyedot investasi besar.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Industri pengemasan protes bea masuk bahan baku tak segera diturunkan
JAKARTA. Industri pengemasan memprotes kebijakan pemerintah yang tidak juga menurunkan bea masuk (BM) untuk bahan baku plastik. Memang, saat ini pemerintah masih menerapkan BM 15% untuk polypropylene (PP) dan polyethylene (PE) dari luar ASEAN. Sementara berdasarkan perjanjian regional, impor PP dan PE asal ASEAN dikenakan BM 0%.BM bahan baku plastik asal luar ASEAN yang masih tinggi ini praktis memberatkan pengusaha. Pasalnya, setiap tahun industri pengemasan membutuhkan sekitar 800.000 ton-1 juta ton bahan baku plastik. Selama ini, industri dalam negeri mendapat pasokan PE dan PP dari Malaysia, Thailand, Timur Tengah, dan Qatar.Menurut Yoesoef Santo, Direktur Hubungan Industri dan Pemerintah Federasi Pengemasan Indonesia (FPI), bahan baku dari Thailand dan Malaysia itu relatif lebih mahal ketimbang dari Qatar dan Timur Tengah. Di samping itu, kedua negara Asia Tenggara itu pun masih menggunakan teknologi usang dalam memproduksi bahan baku plastik.Karena itu, Yoesoef menilai, BM 0% untuk bahan baku plastik seharusnya berlaku untuk semua negara. Dia memahami, regulasi BM merupakan upaya melindungi industri hulu. Namun, industri hulu yang sebagian besar dikuasai pengusaha asing dan swasta lokal menurut Yoesoef kurang bisa bersaing lantaran menggunakan teknologi usang.Akibatnya, industri berbasis plastik pun mengandalkan pasokan impor. Catatan saja, PP dari Thailand harganya lebih murah US$ 200 per ton dari harga PP di pasar internasional yang sebesar US$ 1.400 per ton. "Tapi karena ingin lindungi industri hulu, akhirnya PE dan PP harus ikut menanggung beban Rp 5 per kemasan," ujar Yoesoef.Kondisi ini akhirnya menciptakan biaya tinggi pada produk dalam negeri. Sehingga tidak mengherankan apabila produk asal China, Thailand, atau Malaysia memiliki pasar di Indonesia. Yoesoef sendiri mengaku telah menyurati Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan untuk memperketat masuknya produk kemasan impor. Sebab, aturan Standar Nasional Indonesia (SNI) ternyata kurang mempan membendung masuknya produk impor.Sementara itu, Direktur Industri Kimia Hilir Ditjen Industri Berbasis Manufaktur Kementerian Perindustrian, Tuti Rahayu mengutarakan, sebenarnya pemerintah telah memberikan fasilitas BM ditanggung pemerintah (BMDTP) untuk industri berbasis plastik.BMDTP itu diberikan untuk bahan baku impor yang tidak ada di dalam negeri, produk jadi yang belum diproduksi di pasar domestik, atau produk jadi yang sudah diproduksi tapi jumlahnya terbatas. "Ini penawar sebelum pemerintah memutuskan penurunan BM," ujarnya.Aturan BM PP dan PE itu tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 19 tahun 2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Produk-Produk Tertentu. Melalui PMK 19 ini, pemerintah berniat menggairahkan industri hulu yang dapat menyedot investasi besar.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News