JAKARTA. Bisnis penggemukan sapi potong atau feedlot dalam negeri tengah lesu. Mahalnya harga sapi hidup dari negara asal seperti Australia menjadi salah satu faktor penyebabnya. Dibandingkan awal tahun, harga sapi hidup dari Australia mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Bila di awal tahun harga sapi hidup berada di kisaran US$ 2,9 per kilogram (kg) berat hidup, saat ini melonjak menjadi US$ 3,3-3,5 per kg berat hidup. Anggota Dewan Gabungan Pelaku Usaha Peternakan sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) Achmad mengatakan, mahalnya harga sapi bakalan dari para peternak di negeri Kangguru itu menjadi beban bila dipaksakan untuk impor.
Meningkatnya harga sapi bakalan diperkirakan karena berkurangnya stok di negara-negara produsen sapi. "Peternak Australia sudah membaca pergerakan permintaan yang tinggi terhadap konsumsi sapi, sehingga menetapkan harga yang tinggi," kata Achmad, Rabu (5/7). Selain itu kebijakan pemerintah membuka keran impor daging sapi beku selebar-lebarnya semakin membuat para feedloter merana. Pasalnya, daya saing produk yang dijual bakal kalah lantaran harganya lebih murah. Pemberian izin impor daging kerbau oleh Bulog semakin memperparah kondisi bisnis usaha penggemukan sapi potong ini. "Secara tidak langsung kebijakan pembukaan besar-besaran impor daging beku dan daging kerbau oleh Bulog telah membunuh peternak sapi," katanya. Akibat kondisi tersebut, para pengusaha penggemukan sapi potong akhirnya mengerem importasi. Meski tidak merinci, Achmad bilang realisasi impor sapi bakalan yang telah dilakukan oleh anggota Gapuspindo rata-rata hanya sebesar 20% dari izin impor yang disetujui. Di perusahaan yang dinaungi Achmad yakni PT Kadila Lestari Jaya, realisasinya di kisaran 2.000 ekor. Padahal izin impor sapi bakalan yang telah disetujui mencapai 9.000 ekor. Persaingan harga Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 49 tahun 206 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang mengatur tentang syarat impor sapi bakalan dan indukan dengan skema rasio perbandingan, turut menambah beban pengusaha penggemukan sapi. Dalam beleid itu, perusahaan penggemukan yang mengimpor sapi bakalan wajib mengimpor sapi indukan dengan perbandingan 5:1. Sedangkan bagi koperasi peternak dan kelompok peternak rasio impornya minimal 1:10. Bila skema rasio 1:5 untuk impor sapi indukan dan bakalan dilaksanakan saat ini, maka kandang tidak akan cukup. Perusahaan penggemukan belum siap karena populasi sapi indukan akan berlebih karena tidak boleh dipotong. Biaya produksi akan melonjak lantaran sapi indukan tidak boleh dilakukan penyembelihan atau hanya untuk pengembangbiakan saja.
Untuk mengurangi kerugian, Achmad bilang lahan peternakan yang dimiliki PT Kadila Lestari Jaya dialihfungsikan untuk peternakan kambing dan perkebunan alpukat. "Untuk percobaan sudah ada sekitar 2.000 ekor kambing," ujar Achmad. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemdag) Oke Nurwan mengaku, berdasarkan laporan pengusaha penggemukan sapi, memang telah terjadi penurunan pemasukan impor karena adanya persaingan harga dengan daging beku dan daging kerbau. Bahkan, saat ini ada sapi bakalan yang sudah diimpor namun belum dilakukan pemotongan karena penerimaan masyarakat yang rendah akibat harga terlalu tinggi. "Mereka (feedloter) khawatir dengan beredarnya daging sapi beku dan kerbau," ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Rizki Caturini