KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Cilacap Samudera Fishing Industry Tbk (
ASHA) mencatatkan penurunan kinerja penjualan dan laba di sepanjang periode berjalan tahun ini. Tekanan tersebut menyusul kondisi pelemahan global dan harga jual, hingga kenaikan biaya operasional yang masih membayangi industri perikanan.
Direktur Utama ASHA William Sutioso menyatakan bahwa pelemahan permintaan terjadi, baik di pasar domestik maupun ekspor, seperti ke Amerika Serikat dan Jepang, yang masih melakukan penyesuaian inventori sejak akhir 2024. Selain itu, terdapat tekanan tambahan dari kebijakan tarif impor yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump terhadap produk perikanan Indonesia, yang turut menekan nilai tukar ikan. “Penurunan kinerja terutama disebabkan oleh kombinasi pelemahan permintaan global, tekanan harga jual, serta kenaikan biaya operasional,” ujar William, kepada Kontan.co.id, Minggu (14/12/2025). Baca Juga:
Asosiasi Perikanan Minta Pemerintah Batalkan Aturan Baru DHE SDA, Ini Alasannya Merujuk laporan keuangan perusahaan, penjualan ASHA terpantau anjlok hingga 36,30%, menjadi Rp 110,78 miliar per kuartal III-2025. Padahal, pada periode yang sama tahun 2024 penjualan perseroan masih mencapai Rp 173,94 miliar. Penjualan ekspor tercatat sebesar Rp 21,31 miliar, sedangkan domestik atau lokal senilai Rp 89,57 miliar. Kedua segmen penjualan ini mengalami penurunan dibandingkan posisi tahun sebelumnya yang senilai Rp 26,16 miliar untuk ekspor dan Rp 155,88 miliar (lokal). Dari sisi harga, perseroan menghadapi penurunan average selling price (ASP) akibat ketatnya persaingan dan melemahnya daya beli di beberapa pasar ekspor maupun domestik. Di saat yang sama, biaya logistik, tenaga kerja, serta bahan baku ikan meningkat seiring pasokan yang belum stabil. Fluktuasi nilai tukar juga ikut menekan margin, meskipun sebagian besar pendapatan ASHA berbasis dolar AS. Dia menyebutkan, tekanan terbesar dirasakan pada segmen produk bernilai tambah (value-added) untuk ekspor. Pelanggan cenderung memperlambat pemesanan dan lebih fokus pada produk dengan volume besar namun margin lebih rendah. Selain itu, produk fresh dan chilled yang diekspor ke Jepang dan Korea juga terdampak akibat standar kualitas yang ketat serta pasokan bahan baku lokal yang belum stabil. Untuk mengatasi hal tersebut, ASHA melakukan penyesuaian portofolio SKU pada segmen value-added, meningkatkan efisiensi produksi, serta melakukan renegosiasi kontrak harga jangka panjang. “Sementara untuk segmen fresh dan chilled, perseroan memperkuat kerja sama dengan pemasok lokal, memperbaiki sistem cold chain, serta melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor,” sebutnya.
Dari sisi pasar, kinerja ekspor ASHA mengalami penurunan seiring melemahnya permintaan di negara tujuan utama dan tekanan harga. Sebaliknya, pasar domestik dinilai lebih stabil dan menunjukkan sedikit pertumbuhan, khususnya untuk produk frozen dan ready-to-cook. Manajemen mencatat, segmen yang paling bertahan adalah produk komoditas dengan volume besar, sedangkan segmen premium dan value-added ekspor menjadi yang paling tertekan.
Tekanan yang terjadi hingga periode kuartal ketiga membuat ASHA harus menanggung kerugian sebesar Rp 6,75 miliar. Padahal, di tahun sebelumnya, perseroan masih mencetak laba tahun berjalan senilai Rp 873,72 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News