KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak mentah dunia yang terus melonjak membuat harga bahan baku petrokimia melejit. Asosiasi Industri Olefin, Aromatik & Plastik Indonesia (INAPLAS) menyebut, kondisi ini bakal menekan industri petrokimia secara umum. Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono menjelaskan, bahan baku petrokimia utamanya dari minyak bumi yang saat ini harganya sudah naik dua kali lipat dibandingkan sebelumnya. Pada 2019 harga minyak dunia di kisaran US$ 60 per barrel saat ini sudah menyentuh US$ 120 per barrel. Mengikuti volatilitas harga minyak mentah, harga bahan baku petrokimia pun ikut naik hingga dua kali lipat dibandingkan kondisi normal.
Baca Juga: Opsi Penurunan BM Bahan Baku Plastik UEA Ancam Industri Petrokimia Nasional Fajar memaparkan, saat ini harga nafta sudah mencapai level US$ 900 per ton. Sementara harga turunan nafta seperti monomer, propilen, etilen sudah berada di kisaran US$ 1.100 hingga US$ 1.200 per ton. Adapun untuk polymer sendiri sudah di kisaran US$ 1.300 hingga US$ 1.400 per ton. “Dengan kondisi saat ini dan jika harga bahan baku terus naik, maka industri yang tidak terintegrasi dengan refinery marjinnya akan mendekati rugi,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Rabu (8/6). Dengan naiknya harga bahan baku, biaya produksi juga ikut membengkak sehingga Fajar mengatakan kalau harganya terus naik maka kerugian sudah di depan mata. Selain melejitnya harga bahan baku, Fajar mengungkapkan saat ini industri petrokimia juga merasakan
oversupply polymer karena gudang petrokimia di Eropa mulai penuh akibat resesi sedangkan permintaan stagnan. Adapun, China juga menerapkan zero covid yang membuat permintaan turun, padahal Timur Tengah tidak berhenti memproduksi petrokimia. “Sehingga dengan adanya
supply yang kelebihan dan
demand yang turun, serta dari Timur Tengah tidak bisa menjualnya ke China dan Eropa maka mereka akan menyasar negara lain seperti ke Asia Timur, Amerika, Indonesia,” ujarnya.
Baca Juga: Industri Kemasan Plastik Sepakat Penundaan Cukai Plastik Tahun Ini Industri petrokimia di Timur Tengah menggunakan bahan baku berupa ethane gas yang pabriknya terintegrasi dengan kilang minyak sehingga notabene harga petrokimianya lebih murah. Fajar memberikan gambaran bahwa ethane gas yang sudah diolah menjadi monomer harganya US$ 300 per ton sedangkan harga nafta sudah di kisaran US$ 800 hingga US$ 900 per ton. Sedangkan saat ini, Indonesia masih 50% mengimpor polymer dan bahan baku plastik sehingga kalau Indonesia digempur importasi, industri lokal akan babak belur. Saat ini saja, utilisasi pabrik petrokimia sudah turun di bawah 90% dari yang sebelumnya beroperasi hampir pada kapasitas penuh. Fajar mengatakan, turunnya utlisasi pabrik petrokimia ini lantaran pelaku usaha memilih untuk memangkas taingkat operasi karena harga bahan baku yang mahal. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari