Industri Petrokimia Global Hadapi Tekanan Berat, Konsolidasi Kian Marak



KONTAN.CO.ID - NEW DELHI. Produsen petrokimia di kawasan Eropa dan Asia menghadapi tantangan untuk bertahan hidup.  Peningkatan kapasitas selama bertahun-tahun di pasar China membuat terjadinya kelebihan pasokan. Sementara harga energi yang tinggi di Eropa telah menekan margin industri ini selama tiga tahun berturut-tutut. 

Kondisi tersebut akhirnya memaksa produsen petrokimi utama di seluruh dunia melakukan konsolidasi. ExxonMobil Chemical France, misalnya, telah mengumumkan pada April lalu akan menutup pabrik pengolahan uap dan menutup produksi bahan kimia di Gravenchon tahun ini. 

ExxonMobil mengumumkan pabrik tersebut telah merugi lebih dari 500 juta euro sejak 2018. “Hingga kini pabrik ini tetap tidak kompetitif,” tulis perusahaan dilansir Reuters, Jumat (9/8). 


Sementara itu, raksasa petrokimia Taiwan, Formosa Petrochemical,   hanya mengoperasikan satu dari tiga naphtha cracker selama setahun terakhir. Perusahaan ini juga tidak ada rencana melakukan investasi baru dalam waktu dekat mengingat kondisi pasar yang menantang.

Baca Juga: Diterpa Berbagai Masalah, Kinerja Industri Manufaktur Terus Merosot

Juru bicara  Formosa Petrochemical, KY Lin, mengatakan, pihaknya sudah menutup dua naphtha cracker karena melemahnya permintaan dan margin yang tidak sehat. 

Dari Jepang, Mitsui Chemicals sudah mengumumkan sejak April lalu bakal menutup produksi fenol di pabrik Ichihara miliknya pada tabun fiskal 2026. Perusahaan ini juga akan menutup produksi polietilena tereftalat (PET) di Pabrik Iwakuni-Ohtake pada Oktober mendatang.

Mitsui Chemicals telah mencapai kesepakatan dengan Idemitsu Kosan untuk mempertimbangkan penggabungan peralatan etilena mereka di wilayah Chiba 

Perusahaan juga berencana untuk memperkecil pabrik toluena diisosianat (TDI) milik Omuta Work pada tahun fiskal 2025 dan mempertimbangkan untuk menutup pabrik Anegasaki pada 2027.

Sedangkan Lyodelllbasell, produsen bahan baku plastik yang berkantor pusat di Amerika Serikat (AS) telah melakukan tinjauan strategis atas aset-aset dua unit bisnisnya di Eropa.

Baca Juga: Daya Beli Menekan Kinerja Perusahaan

Pada Mei lalu, Lyodelllbasell menjual unit etilen oksida Bayport dan bisnis terkaitnya kepada produsen kimia INEOS Oxide seharga US$ 700 juta. 

Lalu, Saudi Basic Industries Corp (Sabic), perusahaan yang 70% sahamnya dimiliki Aramco telah mengumumkan pada April lalu untuk menutup secara permanen kilang minyak nafta No. 3 di pabriknya di Geleen, Belanda. 

Sedangkan Shell pada Mei lalu menjual aset kilang dan petrokimianya di Singapura kepada perusahaan patungan antara Chandra Asri dan Swiss Glencore.

Penjualan tersebut merupakan bagian dari rencana CEO Shell Wael Sawan untuk mengurangi jejak karbon perusahaan dan memfokuskan operasinya pada bisnis yang paling menguntungkan.

Editor: Dina Hutauruk