Industri poultry bergejolak, analis optimistis kinerja emiten masih kuat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masyarakat terpukul kenaikan harga daging ayam dan telur yang tidak kunjung turun setelah Lebaran 2018. Penguatan dollar AS menjadi salah satu faktor yang menggerus kinerja emiten poultry yang banyak bergantung pada pakan impor. Namun, analis meyakini, kinerja emiten industri poultry bakal stabil ke depannya.

Analis Danareksa Sekuritas Adeline Solaiman menjelaskan, setidaknya terdapat empat faktor yang jadi faktor utama melonjaknya harga komoditas perunggasan. Yakni berupa nilai tukar kurs dollar ke rupiah, harga pakan ternak, harga jagung dan harga ayam broiler serta day old chicken (DOC). 

"Dari awal tahun dollar sudah naik, impact-nya baru akan terasa per tiga bulan atau akhir dan awal tiap kuartal," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (12/7).


Apalagi pakan ternak yang mana banyak menggunakan fasilitas impor menjadi sektor yang juga mendominasi. Kontribusi pakan kedelai bungkil menguasai 30-35% harga pokok penjualan (COGS) dan jagung sebanyak 50%.

Mengingat stok kedelai bungkil didapat dari impor, penguatan dollar jadi beban dalam komponen kurs. Artinya emiten harus aktif melakukan strategi hedging kurs tukar agar tidak tergerus oleh penguatan dollar, tidak hanya pada sisi perdagangan namun juga untuk emiten poultry yang memiliki obligasi dalam valuta asing.

Sedangkan untuk jagung yang berasal dari produksi nasional, Adeline melihat emiten mengakali potensi kekurangan stok jagung dengan berlomba-lomba membangun gudang penampungan jagung alias corn silo.

"Bagi perusahaan memiliki makin banyak silo akan makin baik karena artinya dia mengutamakan food safety untuk pakan ayam," jelasnya.

Namun di tengah sentimen negatif penguatan dollar, Adeline yakin industri poultry bakal tumbuh berkat harga ayam broiler dan DOC yang jadi relatif tinggi. Ibaratnya, terjadi subsidi beban kurs dengan harga jual produk jadi yang lebih tinggi. Dalam perhitungannya, pada periode year-to-date hingga Juni, harga ayam broiler mengalami kenaikan sebesar 21,5% dan DOC naik 21,4%.

Tren tersebut naik cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya dan menjadi indikasi sisi positif dari inflasi harga yang membuat Adeline tidak mengkoreksi valuasi industri tersebut. Bahkan, ia mempertahankan penilaian netral ketimbang menurunkannya ke overweight.

Atas pertimbangan tersebut, Adeline menjagokan emiten JPFA yang memiliki harga saham murah namun prospektif. Untuk target full year 2018, ia menyarankan buy JPFA Rp 1.850, hold CPIN Rp 4.000 dan hold MAIN Rp 860.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie