Industri RI belum siap hadapi MEA



JAKARTA. Kurang dari enam bulan lagi Indonesia akan memasuki perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai tahun 2015. Secara umum pemerintah dan pelaku usaha mengakui, industri nasional belum siap menghadapi MEA.

Kementerian Perindustrian melansir, hanya 31% industri manufaktur yang punya kemampuan daya saing di pasar ASEAN. Sisanya 69% industri lainnya masih megap-megap bertarung di pasar bebas ini. Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, Harjanto, menyatakan, hanya 1.250 pos tarif atau 31,26% dari total 3.998 pos tarif produk industri manufaktur yang siap bertarung di MEA.

"Sisanya kesulitan saat MEA berlaku," terang Harjanto, akhir pekan lalu. Seakan tak mau putus asa, Kementerian Perindustrian mengklaim sudah punya strategi menghadapi perdagangan bebas ASEAN.


Pertama, strategi ofensif, yakni strategi menyerang guna memperluas pasar industri ke luar negeri. Strategi ini berlaku bagi 31% produk industri nasional yang memiliki daya saing di pasar ASEAN. Sektor industri ini antara lain industri karet, tekstil, makanan dan minuman serta otomotif. "Industri yang kami jagokan untuk ekspansi dan bisa merebut pasar luar negeri," kata Menteri Perindustrian M.S. Hidayat.

Kedua, strategi defensif, strategi mempertahankan pasar industri dalam negeri. Strategi ini berlaku bagi 69% industri yang kesulitan bersaing dengan produk ASEAN. Kelompok industri ini adalah garmen, alas kaki, semen dan keramik. "Kelompok industri defensif adalah kelompok industri yang kami andalkan agar bisa bertahan di pasar dalam negeri," kata Hidayat.

Sayang, pemerintah belum mau menjelaskan apa detail strategi ini. Termasuk apakah akan memberikan insentif kepada pelaku industrinya. Lebih celaka lagi, pebisnis menyatakan belum mendapat kabar apa-apa terkait rencana pemerintah ini.

"Tak ada strategi pemerintah itu, pemerintah cuek, kami malah menjadi industri yang mandiri," kata Marga Singgih, Ketua Pengembangan Usaha Dalam Negeri Asosiasi Sepatu Indonesia (Aprisindo), kepada KONTAN, kemarin.

Secara umum, KONTAN merangkum keluhan utama pelaku industri dalam negeri menyambut MEA adalah ketersediaan energi murah dan masalah infrastruktur. "Untuk menghadapi MEA, satu-satu tantangan industri adalah ketersediaan listrik," jelas Ade Sudrajat Usman, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia.

Pengurus Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani berpendapat, pemerintah harus mengurai kendala ketersediaan bahan baku, menekan biaya logistik, mengurangi beban energi listrik dan gas, dan menurunkan bunga bank. "Sebab membatalkan MEA itu sudah susah," tandas Franky.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie