Industri Ritel Dalam Negeri Tertekan Impor yang Kian Menjamur



KONTAN.CO.ID - JAKARTA - Pengusaha ritel dan pusat perbelanjaan atau mal menyatakan kebijakan impor yang diimplementasikan untuk barang branded berdampak pada sektor-sektor tertentu, dan mengakibatkan banyak peluang menjadi hilang.

Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) menilai peluang ekspansi ke berbagai wilayah di Indonesia menguap lantaran banyak toko-toko yang menjual barang branded mulai kosong dan kehabisan stok.

"Jumlah SKU hanya 60% dari jumlah SKU di Singapura dan Malaysia. Harga barang branded di Indonesia didapati lebih mahal 40% dibandingkan di Singapura dan Malaysia," ungkap Ketua umum Hippindo, Budihardjo Iduansjah dalam keterangan resminya diterima Kontan, Rabu (17/1).


Akhirnya, opsi berbelanja ke luar negeri kemudian banyak dipilih konsumen dalam negeri karena lebih murah dan pilihannya lebih lengkap. 

Baca Juga: Potensi Perputaran Uang Selama Libur Nataru Mencapai Rp 80,25 triliun

"Itu artinya Indonesia kehilangan peluang menjadi destinasi berbelanja bagi turis asing, karena harga-harganya mahal," tegasnya.

Kemudian, praktik jasa titip atau jastip yang tidak membayar pajak dan impor illegal menjadi semakin menjamur. Sektor UMKM pun turut terdampak karena pengetatan impor bahan baku sehingga produksi produk dalam negeri juga terdampak. 

Selama ini kita ketahui bersama bahwa peritel pun telah banyak berperan dalam membantu UMKM dan produsen lokal dalam jaringan ekosistem rantai pasok tersebut.

“Pemerintah telah membuat berbagai peraturan yang baik namun kurang tepat dalam mengatasi permasalahan impor ilegal ini. Dampak yang serius dialami oleh pelaku impor legal. Pada beberapa kali dengar pendapat terbuka, kami juga sudah menyampaikan kondisi di lapangan namun peraturan tetap diterbitkan,” ujarnya.

Baca Juga: Ini Alasan Pengusaha Ritel Keberatan Jika UMP Tahun Depan Naik Hingga 15%

Sejauh ini, pengusaha dalam negeri yang berusaha secara legal dan mengikuti regulasi malah kesulitan mendapatkan barang, sehingga tidak hanya sulit untuk berkembang, tetapi juga sulit untuk bertahan di pasar. 

Editor: Noverius Laoli