Industri rokok dikeluarkan dari DNI, YLKI: Ini kontra produktif



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian merevisi Peraturan presiden No. 44/2016 tentang bidang usaha tertutup dan bidang usaha terbuka dengan persyaratan di penanaman modal. Lewat revisi aturan ini, akan terdapat 54 bidang usaha yang akan dikeluarkan dari Daftar Negatif Investasi (DNI) salah satunya sektor industri rokok.

Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, dengan dikeluarkannya industri rokok dari DNI, artinya pemerintah berharap investasi asing masuk ke industri rokok. Industri rokok asing menggerojokkan modalnya untuk investasi. Hal ini merupakan sebuah kebijakan kontra produktif.

Pertama, akan terjadi pencaplokan industri rokok nasional oleh industri rokok asing, sebagaimana terjadi pada PT HM Sampoerna dicaplok oleh PT Phillips Morris Internasional, dan anak perusahaan PT Gudang Garam oleh dicaplok oleh Japan Tobacco Company.


"Jika hal ini terjadi, dampak konkritnya justru akan terjadi pelarian modal atau devisa ke luar negeri. Industri rokok asing mengeruk untung di Indonesia dan sebaliknya berbagai penyakit dan dampak sosial ekonomi dan finansial akan diwariskan di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat Indonesia akan menanggung warisan tersebut," kata Tulus dalam siaran pers, Senin (19/11).

Kedua, buntut setelah pencaplokan lantaran ada suntikan dana maka produksi rokok akan meningkat, pemasaran dan promosi semakin masif dan agresif dan ujungnya adalah konsumsi rokok di tengah masyarakat juga meningkat tajam. Dengan demikian, pemerintah mendorong agar muncul perokok-perokok baru, terutama anak-anak dan remaja atau perokok aktif yang sudah eksisting untuk meningkatkan kapasitas merokoknya.

"Pemerintah akan berdalih untuk dieskpor? Dengan produksi rokok nasional yang tidak kurang dari 350 miliar batang per tahun, 90% lebih masuk ke mulut konsumen Indonesia. Hanya sekuku hitamnya saja untuk keperluan ekspor," ungkapnya.

Ketiga, dengan konfigurasi yang demikian gamblang, artinya, pemerintah hanya berfikir instan. Benar manakala produksi dan konsumsi naik, pemerintah akan mendulang pendapatan yang lebih banyak via kenaikan cukai, pajak dan lainnya.

Tetapi, lanjut dia, logika yang sangat instan, bahkan tidak melihat realitas empirik bahwa produksi dan konsumsi rokok yang meningkat tajam akan berbanding lurus dengan peningkatan kemiskinan yang juga akan berbanding lurus dengan angka kesakitan akibat rokok.

Menurut Tulus, merujuk data BPS dan hasil survei Riskesdas, plus data lainnya konsumsi rokok telah memicu peningkatan kemiskinan di rumah tangga miskin. Demikian juga di sektor kesehatan, konsumsi rokok menyumbang signifikan untuk penyakit katastropik, dan itulah yang menjebol finansial BPJS sehingga semakin berdarah-darah.  "Dengan dua fakta itu saja, seharusnya pemerintah tidak mengeluarkan industri rokok dari DNI," lanjutnya.

Atas dibukanya DNI untuk industri rokok, sama artinya pemerintah telah menjadikan masyarakat dan konsumen Indonesia sebagai tumbal atas kegagalannya menyelamatkan defisit neraca berjalan. Kebijakan ini jelas tidak sejalan dengan visi Nawa Cita yang diusung Presiden Jokowi, yakni meningkatkan sumber daya manusia dan derajat kesehatan rakyat.

"Jadi, pemerintah seharusnya menutup rapat industri rokok dari DNI, bukan malah membukanya. Jangan jadikan masyarakat sebagai tumbal atas kegagalan mengelola perekonomian negara. Karenanya, batalkan kebijakan mengeluarkan industri rokok dari Daftar Negatif Investasi," tambahnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi