Industri rokok dinilai masih ditekan kampanye negatif



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Azami Mohammad berpendapat berbagai manuver kelompok antirokok yang mengampanyekan rokok dikaitkan dengan kesehatan makin bertebaran karena dipesan oleh pendonor asing.

Menurut Azami mereka ingin eksis agar dana asing dapat terus mengalir mendanai program-program pengendalian tembakau di Indonesia. “Mereka sekedar menunaikan kewajiban yang di-order oleh pendonor asing agar sesuai dengan pedoman Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)," tegas dia dalam keterangannya, Selasa (2/6).

Baca Juga: Saham-saham ini jadi penggerek IHSG selama bulan Mei, begini prospeknya ke depan

Menurut dia, belum lama ini kaum antirokok menunggangi isu pandemi Covid-19 dengan mengeluarkan opini yang mengaitkan Covid-19 dengan rokok. Isu ini melontarkan pendapat mengenai asap rokok dapat menjadi medium penularan Covid-19. 

KNPK juga mengkritisi agenda perluasan gambar peringatan di bungkus rokok yang sudah sejak lama digaungkan. Adanya gambar peringatan sebesar 40% dari bungkus rokok sekarang ini merupakan hasil pekerjaan kelompok antirokok. 

Ia menilai selama ini argumentasi yang mereka gunakan adalah dengan adanya gambar peringatan pada bungkus rokok, maka dapat menurunkan prevelensi perokok di Indonesia. "Sejauh ini strategi perluasan gambar peringatan di bungkus rokok sama sekali tidak terbukti mengurangi prevelensi perokok di Indonesia," tegasnya. 

Merujuk data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), bahwa terdapat penurunan jumlah pabrik rokok yang aktif berproduksi. Pabrikan rokok di Indonesia yang memiliki izin sebanyak 600 pabrik. Namun hanya 100 pabrik yang masih aktif berproduksi setiap harinya.

Baca Juga: Dinilai sebagai tulang punggung kas negara, pemerintah diminta lindungi IHT

“Maka tak heran jika banyak pabrikan rokok kecil yang gulung tikar. Padahal pabrik rokok kecil ini mempunyai manfaat yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat sekitar,” ujarnya.

KNPK juga menyoroti kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani tahun 2019 yang menaikkan cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 35%. Kebijakan tersebut mengakibatkan harga rokok naik namun penjualannya turun. Hal ini berakibat pada menurunnya jumlah pembelian tembakau oleh industri rokok kepada para petani.  "Diperparah oleh Covid-19 dan resesi ekonomi saat ini. Jumlah pembelian tembakau semakin menurun," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi