Industri Sawit Malaysia Terancam Merugi karena Krisis Tenaga Kerja



KONTAN.CO.ID - KUALA LUMPUR. Malaysia terancam gagal memanfaatkan momentum lonjakan harga minyak sawit dan justru dibayangi kerugian karena menghadapi krisis tenaga kerja. Industri kelapa sawit Malaysia kini kekurangan hingga 120.000 tenaga kerja.

Kepada Reuters pada Senin (6/6), Asosiasi Pemilik Estat Malaysia (MEOA) mengatakan, kekurangan tenaga kerja ini didorong oleh pembatasan imigrasi terkait pandemi. Akibatnya, panen buah sakit pun menjadi terhambat.

Pada awal pandemi, setidaknya ada 437.000 tenaga kerja di perkebunan Malaysia. Sebagian besar di antaranya, sekitar 80%, berasal dari Indonesia.


Baca Juga: Larangan Ekspor Ayam Malaysia Berlaku, Singapura Bakal Beralih ke Ayam Beku

Tahun ini, harga minyak sawit melonjak ke level tertinggi karena krisis tenaga kerja, pembatasan ekspor di produsen utama Indonesia, serta perang Rusia-Ukraina. Namun, MEOA menjelaskan, para produsen di Malaysia tidak merasakan keuntungan dari fenomena tersebut.

"Yang menyedihkan adalah bahwa Malaysia kehilangan kesempatan emas yang disajikan di atas piring karena kami tidak mampu mengatasi panen semua tandan karena tenaga kerja yang terbatas saat ini," ungkap MEOA dalam pernyataannya.

September tahun lalu, Malaysia telah menyetujui perekrutan 32.000 pekerja migran untuk perkebunan kelapa sawit demi menggenjot lagi produksi. Sayangnya, tenaga kerja asing yang direkrut belum juga datang karena masalah izin.

Baca Juga: Mendag Sebut Ada 23 Perusahaan Sudah Kantongi Izin Ekspor Minyak Sawit

MEOA memprediksi proyeksi produksi industri sawit Malaysia di tahun 2022 yang ada di angka 18,6 juta ton bisa saja diturunkan jika tenaga kerja tidak kunjung datang,

"Proyeksi ini bisa ditekan lagi jika pemerintah tidak bisa bertindak sekarang di tengah lambatnya progres penerbitan izin perpanjangan untuk 32.000 pekerja," lanjut MEOA.

Sejalan dengan itu, Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOC) pekan lalu menurunkan prospek produksinya menjadi 18,6 juta ton untuk tahun ini dari perkiraan sebelumnya 18,9 juta ton.

Kondisi ini semakin buruk setelah pekan lalu Indonesia memutuskan untuk membatalkan rencana pengiriman tenaga kerjanya ke Malaysia karena ada masalah prosedural.