KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kelebihan pasokan masih jadi momok bagi industri semen. Data dari Asosiasi Semen Indonesia menyebut, tahun ini kapasitas terpasang mencapai 107 juta ton. Sementara permintaan semen hanya tumbuh 6% menjadi 72 juta ton. Selain kelebihan pasokan, persaingan antarprodusen semen juga makin sengit. Maklum, perusahaan semen global juga mengincar kue pasar di Indonesia. Setidaknya, kapasitas terpasang beberapa perusahaan asal China dan Thailand mencapai 23 juta ton setara dengan 21% dari total kapasitas. Kondisi ini membuat perusahaan semen seperti PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR), PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) makin terjepit.
Contohnya, pada kuartal I-2018
net profit SMGR turun sebesar 45% menjadi Rp 411 miliar dibanding kuartal yang sama tahun lalu sebesar Rp 750 miliar. Begitu juga
net profit INTP turun 46,2% dari Rp 491,5 miliar menjadi Rp 264,2 miliar, dan
net profit SMBR terpangkas 60,5% dari Rp 32,05 miliar menjadi Rp 12,67 miliar. Stimulus negatif Analis Indo Premier Sekuritas, Hasan menyebut, kompetisi antara perusahaan semen masih akan berlangsung hingga tahun depan. Sentimen negatif lain yang membayangi industri semen adalah kenaikan harga batubara dan pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). “Dengan kondisi tersebut, margin perusahaan berpotensi tergerus,” kata Hasan dalam risetnya, Kamis (3/5).
Vice President Research Artha Sekuritas Frederik Rasali menyebut tahun ini, industri semen belum memiliki stimulus positif. Terlebih, saat ini kelebihan pasokan tak dibarengi dengan pengaturan pasokan. Meskipun konsumsi semen naik 6% hingga bulan Mei, Frederik bilang tak berpengaruh signifikan terhadap penyerapan pasokan industri semen. “Kecuali ada proyek konstruksi baru yang bisa menopang
demand yang lebih tinggi,” ujar Frederik Senin (25/6). Sentimen negatif lain adalah kenaikan harga komoditas batubara. Sekretaris Perusahaan SMGR, Agung Wiharto mengatakan, komponen batubara sebesar 30%. dari total biaya produksi SMGR. Minus sentimen positif membuat kinerja harga saham ketiga emiten ini juga berdarah. Harga saham SMGR sejak awal tahun tergerus 22,73% ke level Rp 7.650, harga saham SMBR turun 12,89% menjadi Rp 3.310 dan harga saham INTP turun 21,69% menjadi Rp 14.350. Menurut Analis Binaartha Parama Sekuritas, Muhammad Nafan Aji di tengah bayangan stimulus negatif, emiten semen masih punya harapan terkerek sentimen kebijakan pelonggaran
loan to value (LTV). "Rencana pelonggaran LTV yang akan dibahas dalam Rapat Dewan Gubernur dapat memiliki multiplier efek, harapannya penjualan semen bisa terdongkrak oleh pertumbuhan di sektor properti," kata Nafan, Senin (25/6). Mengamini hal tersebut, Agung menyebut pertumbuhan di sektor properti bisa berdampak positif bagi SMGR. Sebab, 70% porsi penjualan SMGR digenggam oleh segmen ritel, sementara 30% sisanya datang dari sektor infrastruktur yang membeli semen curah.
"Meski banyak faktor yang mempengaruhi penjualan, tapi (kebijakan LTV) bisa berpengaruh terharap pertumbuhan," ujar Agung. Namun, Nafan menyarankan investor untuk
wait and see terhadap saham emiten semen. Begitu juga Frederik merekomendasikan posisi neutral untuk ketiga saham ini. Indo Premier merekomendasikan
sell untuk SMBR dan INTP. Sedangkan, investor bisa
hold saham SMGR dengan target harga Rp 8.830. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati