Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) perlu harmonisasi



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) perlu melakukan harmonisasi mulai dari sektor hulu hingga hilir. Langkah ini diperlukan bagi industri tekstil yang dinilai belum terintegrasi.  

Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, sejauh ini sudah ada pembicaraan mengenai hal tersebut, hanya saja belum menjadi suatu kebijakan. 

Baca Juga: Ini Rekomendasi dan Target Harga Saham SRIL (Sritex) dari Tiga Analis


"Ya ini mereka duduk bersama. Kalau sektor hulu minta antidumping, sektor hilirnya teriak karena harus membeli barang yang harganya lebih mahal," kata Sigit ketika ditemui Kontan.co.id di Menara KADIN, Senin (2/9). 

Sedikit gambaran, saat ini pemerintah berencana menerapkan safeguard bagi produk impor TPT dari China yang membanjiri pasar tekstil dalam negeri. Sigit menjelaskan, banjir impor disebabkan perang dagang antara China dan Amerika Serikat.

Produk China yang memiliki harga lebih murah mengakibatkan produk TPT dalam negeri tidak terserap. Untuk besar persentase safeguard yang akan diterapkan, Sigit bilang tergantung pada keputusan  Komite Anti Dumping Indonesia.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, menekankan perlu adanya satu tujuan untuk menyelesaikan permasalahan terebut. 

Baca Juga: Industri Tekstil Nasional Sulit Berkembang Lantaran Tidak Harmonis

" Saat ini belum, karena kepentingannya beda-beda," kata Redma ketika ditemui Kontan.co.id di Menara KADIN, Senin (2/9). Ia menambahkan, saat ini masih ada pemain TPT yang berkeinginan impornya tidak dihambat, walaupun memang diakui Redma lebih baik dibanding sebelumnya. 

Tidak jauh berbeda dengan Redma, Presiden Direktur PT Mega Perintis Tbk FX Afat Adinata mengatakan bahwa indsutri TPT dinilai masihi belum kompak.

" Sejauh ini kami masih berjalan sendiri-sendiri," ungkapnya. Ia menambahkan, ia melihat ada upaya dari pemerintah melalui Kemenperin dan KADIN membuat berbagai regulasi supaya  industri TPT tetap bertumbuh. 

Lebih lanjut Redma menjelaskan,  APSyFI lebih menekankan persolan industri TPT ini pada daya saingnya. Jika pemerintah memberikan fasilitas yang sama seperti yang diberikan oleh pemerintah China terhadap industrinya, maka produk TPT dalam negeri masih bisa bersaing.

" Kalau pemerintah bisa menyamakan cost, kami tidak perlu ada safeguard. Buka saja impor terserah, kita masih bisa bersaing," ungkap Redma lagi. 

Untuk saat ini, yang menjadi perhatian adalah industri garmen. Redma bilang, pemain garmen masih belum mau menerima kebijakan safeguard. Padahal, sektor lainnya seperti benang dan kain sudah menerima.  

Pemain garmen di kawasan berikat sesungguhnya tidak perlu khawatir.  Kebijakan safeguard  tidak akan berpengaruh  sejauh  kain yang diimpor betul-betul dimanfaatkan untuk ekspor.

Baca Juga: APSYFI bicara soal importasi tekstil China

Pada kesempatan sebelumnya, Redma menerangkan impor melalui kawasan berikat banyak dimanfaatkan untuk pasar lokal sehingga produk TPT lokal tidak bisa terserap pasar.  Produk TPT  semacacam inilah yang perlu dikenai safeguard. 

Perlu menjadi perhatian juga saat ini, impor garmen lewat e-commerce. Menurut Redma, e-commerce ini bukan hanya memukul pemain industri garmen tetapi juga pemain retail.  

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani bilang, salah satu masalah yang dihadapai industri TPT saat ini adalah rendahnya penyerapan pasar dan kebijakan safeguard yang masih lemah dalam melindungi industri dalam negeri. 

" Salah satu dukungan yang diberikan adalah memfasilitasi penyamaan agenda di kalangan asosiasi dan pelaku industri dalam negeri," kata Shinta ketika ditemui Kontan.co.id di Menara KADIN, Selasa (2/9).  

Lebih lanjut ia menjelaskan, pihaknya akan menyuarakan agenda penguatan industri TPT dalam negeri kepada pemangku kebijakan dan komunitas internasional. KADIN juga akan mendorong optimalisasi penggunaan bahan baku nasional di kalangan pelaku industri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini