KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki menyaksikan secara langsung kondisi terkini pabrik dan menerima keluhan beberapa pelaku UKM tekstil di Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada kunjungan kerjanya Minggu (24/9). Teten menjelaskan, produk mereka kalah bersaing bukan karena kualitas, tetapi soal harga yang tidak masuk Harga Pokok Penjualan (HPP) pelaku UKM/IKM tekstil yang tidak mampu bersaing. "Saya mendapat informasi ada indikasi marak impor pakaian jadi maupun produk tekstil yang tak terkendali. Harga yang murah ini adalah predatory pricing di platform online, memukul pedagang offline dan dari sektor produksi konveksi juga industri tekstil dibanjiri produk dari luar yang sangat murah," kata Teten dalam keterangan resmi, Senin (25/9).
Baca Juga: TikTok Shop Bikin Pengunjung Tanah Abang Sepi Menurutnya, hal itu terjadi juga karena didorong adanya aturan
safe guard yang tidak berjalan dengan semestinya. Untuk itu, Pemerintah berupaya untuk membenahi dan berkoordinasi dengan Mensesneg untuk langkah ke depan. "Sebab sekali lagi, kewenangan ini ada di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Presiden Jokowi pun sudah mengatakan secepatnya ada Undang-Undang yang mengaturnya," imbuhnya. Teten mengatakan, Presiden sudah menyampaikan akan meninjau kembali perdagangan online, yang dalam waktu dekat akan dibahas. Hal itu termasuk yang sudah diusulkan yakni revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Teten mengatakan revisi aturan ini sudah selesai dan tinggal ditetapkan. Tak hanya itu, Teten juga merasa perlu ada HPP khusus di produk tekstil. Sebab di China sendiri, mereka menerapkan model barang masuk di sana tidak boleh di bawah HPP.
Baca Juga: Kemenperin Menilai Pelaku Industri Tekstil Perlu Lakukan Inovasi Ramah Lingkungan "Kalau kita terapkan itu, bisa melindungi industri dalam negeri," kata Teten. Para pelaku usaha dan industri tekstil di Jawa Barat (Jabar) terancam berhenti berproduksi karena imbas praktik
predatory pricing di platform
social commerce. Praktik
predatory pricing tersebut secara nyata mulai dirasakan khususnya oleh para pelaku usaha tekstil. Dimana mereka mengalami turunnya permintaan sehingga menekan omzet. Bahkan lebih lanjut berdampak pada penurunan produksi dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pegawai UMKM. Di kabupaten Bandung, Kecamatan Majalaya, Jawa Barat misalnya, sebagai kawasan yang penduduknya menjalani usaha pertekstilan pada hari biasa ramai aktivitas produksi. Namun sejak Lebaran hingga saat ini, penurunan produksi terus terjadi hingga beberapa pabrik tak mampu lagi bertahan untuk terus berproduksi. "Kami bersama para pelaku industri pakaian jadi dan tekstil membahas tentang hal ini dan memang ada penurunan yang cukup drastis karena pelaku UMKM yang memproduksi pakaian muslim, kerudung, pakaian jadi yang dijual di pasar grosir seperti Tanah Abang, ITC Kebon Kelapa, Pasar Andir terpantau anjlok. Akibatnya permintaan terhadap pakaian, kain, dan tekstil menurun drastis," ucap Teten. Adapun dalam diskusi tersebut hadir sejumlah pelaku usaha tekstil terdiri dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB), Paguyuban Textile Majalaya, dan KADIN Kabupaten Bandung.
Baca Juga: Kemenperin Pasang Alat Pantau Kualitas Udara di Industri Tekstil Ketua Umum API Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan, saat ini perdagangan global memang sedang tidak baik-baik saja. China yang merupakan produsen atau manufaktur besar dunia, banyak barangnya yang tak terserap di negara-negara besar seperti di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Sehingga mereka berusaha mencari pasar baru yang trade barrier-nya lemah. "Jangan sampai Indonesia hanya dijadikan market, karena Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar nomor empat dunia. GDP kita masih lebih baik dan inflasi Indonesia cukup terkontrol dibanding negara lain. Tak heran Indonesia dibidik menjadi salah satu pangsa pasar. Jika tidak pintar-pintar memasang
trade barrier, ekosistem ini akan hancur berimbas ke hulu," kata Jemmy. Ketua Umum IPKB Nandi Herdiaman menambahkan, adanya serangan impor yang harganya di bawah pasar, mendorong rendahnya permintaan termasuk yang terjadi di Tanah Abang, Jakarta Pusat. "Imbasnya terjadi penurunan produksi bukan cuma 1 atau 2 pabrik, bahkan ribuan. Ditambah dampak pengangguran bahkan hingga jutaan," ucapnya.
Baca Juga: Pedagang Sektor Tekstil Turun Omzet Dihadapkan Gempuran Produk Luar Negeri yang Murah Owner PT Santosa Kurnia Jaya Dudi Gumilar menjelaskan, UMKM tekstil sudah memproduk sesuai dengan permintaan pasar, tetapi akhir-akhir ini marak impor barang-barang tersebut membuat bahan menumpuk. "Kami kesulitan menjual hampir 1,5 juta meter bahan menumpuk di pabrik sementara produksi masih berjalan. Kami juga tidak tahu sampai kapan masih bisa produksi, mohon bantuan untuk perlindungan pasar kami," kata Dudi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto