Industri Tekstil Sebut Kenaikan UMP Tahun Depan Perlu Dicermati Bersama



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menyatakan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) harus dipertimbangkan secara bersama.

Sebelumnya, ramai diberitakan bahwa serikat pekerja atau buruh meminta UMP tahun 2024 naik 15% menjadi Rp 5,6 juta. Serikat pekerja juga menolak perhitungan UMP dengan menggunakan rumus yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2023.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jemmy Kartika Sastraatmaja mengatakan, kondisi ekonomi global, termasuk di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja sehingga kenaikan UMP perlu dicermati secara bersama.


Baca Juga: UMP Tahun 2024 Diusulkan Naik Hingga 15%, Begini Tanggapan APSyFI

"Ini sudah menjadi kearifan bersama dalam menyikapi masalah UMP. Ini sangat dibutuhkan," kata Jemmy saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (20/11).

Ia menjelaskan, utilisasi industri saat ini menurun terus sampai sekarang sudah di bawah 50%. 

Sementara itu, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menyatakan keberatan jika upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2024 naik 15%.

Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, sebagian besar produsen serat dan benang tidak akan sanggup membayar kenaikan upah ini.

Menurut Redma, hal tersebut lantaran saat ini bebannya sudah bertubi-tubi mulai dari pasar ekspor yang kontraksi, pasar lokal dibanjiri impor, efek pelemahan rupiah, hingga suku bunga naik.

Baca Juga: Pengusaha Ritel Keberatan Jika UMP Naik Hingga 15%

"UMP kami serahkan saja pada pemerintah, kami sudah hampir pasti tidak akan ikut, karena karyawan di tekstil sudah sangat mengerti kondisinya, masih bisa bekerja saja sudah bersyukur, sebab sebagian kawannya sudah di Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan," ungkap Redma saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (20/11).

Ia menjelaskan, sebaiknya teman Serikat Pekerja juga ikut menuntut pemerintah agar permasalahan banjir impor juga dapat diselesaikan karena ini mengancam industri tekstil.

"Secara angka kami bingung jawabnya [harus naik berapa persen], Karena di satu sisi kami tidak mampu, di sisi lain kami tahu kalau karyawan berharap adanya kenaikan meski mereka lebih berharap tetap bekerja tanpa PHK," tandasnya.

 
 
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .