Industri tekstil siap membeli mesin bekas



JAKARTA. Keberadaan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 127/2015 tentang Importasi Barang Modal Tidak Baru mendapat respons positif dari beberapa kalangan industri. Salah satunya adalah dari pebisnis tekstil. 

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) meyakini, insentif pemerintah itu bisa mendorong ruang gerak pebisnis tekstil, tak cuma pebisnis kelas kakap tapi juga kelas menengah hingga kecil. "Ini jadi langkah pendorong kami. Kami mengapresiasi langkah kementrian terkait," ungkap Ade Sudrajat Usman, Ketua Umum API, kepada KONTAN, Minggu (31/1).

Berdasarkan beleid tersebut, pebisnis tekstil bisa mengimpor sejumlah mesin produksi tekstil bekas pakai. Misalnya saja mesin penggaruk, mesin penyisir, mesin penarik, mesin pemintal, mesin penggulung benang, mesin tenun (loom), atau mesin rajut bundar. Tidak ketinggalan, mesin jahit bekas dan mesin penunjang lainya.


Selain bisa membeli mesin bekas, menurut Ade, beleid ini membuat industri tekstil domestik dapat berinovasi di mesin-mesin produksi tekstil. Misalnya, ada upaya untuk memperbaiki mesin tekstil yang rusak.

Langkah ini jelas lebih efisien ketimbang harus membeli yang bekas pakai, apalagi yang berkategori baru. Apalagi saat ini masih minim industri komponen mesin tekstil. "Apalagi produsennya," timpal dia. 

Ia berharap, insentif ini bisa membuat industri mesin jahit tekstil beserta komponen pendukungnya bisa tumbuh. Sayang, Ade tidak memerinci jumlah pemain domestik di bidang perbengkelan mesin, khususnya mesin tekstil.

Sejauh ini, kata Ade, baru pemain tekstil skala besar yang mengimpor mesin tekstil bekas untuk keperluan produksi usaha. Adapun jumlah industri tekstil skala menengah yang melakukannya hingga kecil masih sedikit. "Mungkin ada tapi masih sangat sedikit yang impor mesin besar, karena ini terkait kualitas produk," kata Ade.

Selain kualitas, pertimbangan harga juga menjadi salah satu alasan utama kenapa pabrikan tekstil tidak mengimpor mesin bekas. Misalnya, lanjut Ade, harga mesin tenun baru US$ 120 per unit. Sedangkan harga yang bekas kurang lebih US$ 90-US$ 100 per unitnya.

Memang, harga mesin tenun yang baru dengan yang bekas tidak terlalu jauh. Apalagi saat ini ada mesin tenun buatan China yang lebih murah ketimbang buatan Eropa. "Jadi bagi industri tekstil besar, lebih baik membeli mesin yang baru," katanya.

Meski begitu, ia menyarankan supaya pemerintah memberi batasan usia impor mesin tekstil bekas. Misalnya berusia tidak lebih 10 tahun. Tujuannya adalah supaya teknologi mesin tekstil tidak tertinggal jauh dengan mesin kepunyaan kompetitor dari luar negeri. 

Mesin baru 

Sekretaris Perusahaan  PT Pan Brothers Tbk Iswar Deni menilai, aturan tersebut tidak terlalu berdampak bagi ekspansi bisnis perusahaannya. "Kami sendiri menggunakan mesin baru untuk bisa bersaing dengan kompetitor," kata Iswar kepada KONTAN.

Menurutnya, sebagai perusahaan tekstil skala besar, Pan Brothers sudah sewajarnya berani berinvestasi jangka panjang untuk mesin tekstil. Caranya adalah dengan bersinergi dengan pabrikan mesin untuk bisa membuat mesin tekstil yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Lewat sinergi seperti ini, perusahaannya bisa memasang strategi untuk bisa bersaing dengan perusahaan sejenis, terutama yang berasal dari luar negeri. Tahun ini, Pan Brothers berencana membangun tiga pabrik baru di Jawa Tengah dan sudah menyiapkan dana pembangunan sebesar US$ 25,7 juta.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan