Industri Tekstil Tanggapi Kebijakan Wajib Sertifikasi Halal



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menegaskan setiap produk yang beredar dan diperjualbelikan, serta masuk wilayah Indonesia wajib bersertifikasi halal mulai 18 Oktober 2024.

Adapun produk yang dimaksud Haikal mencakup makanan, minuman, obat, kosmetik hingga fashion. Namun, pemerintah pada tahap awal memberlakuan kewajiban sertifikasi halal bagi tiga kelompok produk yang diproduksi oleh pelaku usaha menengah dan besar.

Baca Juga: Aspek Soroti Gelombang PHK, Mirah Sumirat Usulkan Langkah Proteksi Industri Lokal


Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, disektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mengenai kewajiban sertifikasi halal banyak dibahas dan sudah ada aturan serta lembaga lembaga yang berwenang memeriksa, mengeluarkan sertifikat dan monitoringnya. 

"Namun memang belum banyak yang mengimplementasikannya, karena memang belum diwajibkan," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (27/10/2024).

Meski demikian, Redma mengakui, pihaknya belum bisa memastikan sejauh mana kesiapannya. "Terkait biaya sebetulnya masih acceptable, tapi kalau untuk IKM mungkin akan keberatan," sebutnya. 

Baca Juga: Dominasi Pemain Lokal di Sektor TPT Tergerus Kebijakan Impor dan Rantai Pasok Global

Menurut Redma, tapi masalah utamanya adalah fairness equal threatment dengan barang impor khususnya impor ilegal, bukan bukan pada kewajiban sertifikat halalnya.

Ia membandingkan, sama halnya dengan standar nasional Indonesia (SNI) wajib pada pakaian bayi, dimana produk lokal hingga pabriknya akan terkena sangsi hingga ratusan juta jika tidak memenuhi SNI wajib. 

"Tapi kita lihat barang-barang yang sama tanpa SNI beredar di platform-flatform online dengan harga yang sangat murah," ungkapnya.

Redma bilang, pabrik lokal untuk memenuhi SNI harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, sedangkan barang impor tanpa SNI membanjiri pasar domestik. Untuk satu perusahaan dikenaikan biaya SNI Rp 20 jutaan.

"Ini yang kami khawatirkan juga terjadi di sertifikasi wajib halal," keluhnya

Baca Juga: Produk UMK Harus Bersertifikat Halal pada 17 Oktober 2026, Produk Luar Negeri Kapan?

Sama halnya dengan kebijakan SNI, jika tidak memenuhi ketentuan maka barangnya akan ditarik dari pasar dan ada sanksi administrasi juga.

"Kalau buat kami sebagai produsen, kami mendukung sertifikasi halal ini karena bisa menjadi trade barrier bagi produk impor. Namun di sini kami juga meminta pihak-pihak terkait untuk lebih pro terhadap produsen dalam negeri," harap Redma.

Sebelumnya, Kepala BPJPH Ahmad Haikal Hasan atau Babe Haikal menegaskan bahwasanya setiap produk yang beredar di Indonesia wajib bersertifikasi halal mulai 18 Oktober 2024.

"Semua produk yang ada, yang beredar, yang masuk, yang diperjualbelikan di wilayah Republik Indonesia, wajib bersertifikat halal," tandasnya, pekan lalu. 

Selanjutnya: Kejagung Menangkap Ronald Tannur

Menarik Dibaca: Deretan Kartu Ucapan Hari Sumpah Pemuda 2024 untuk Diunduh Gratis dan Dibagikan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto