KONTAN.CO.ID - JAKARTA.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melakukan diseminasi hasil studi dampak dari penerapan PP Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPermenkes) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik. Kebijakan ini mencakup aturan kemasan rokok polos tanpa merek, jarak larangan penjualan, dan pembatasan iklan yang dinilai akan berdampak negatif pada kinerja industri, penerimaan negara, dan tenaga kerja. Berdasarkan hasil perhitungan dampak yang dilakukan oleh INDEF dengan penerapan tiga skenario kebijakan terkait industri rokok sehubungan dengan aturan-aturan yang tertera pada PP 28/2024 dan RPermenkes, yaitu kemasan rokok polos tanpa merek, larangan berjualan di sekitar satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dan pembatasan iklan luar ruang, berpotensi memberikan dampak ekonomi yang signifikan.
Jika ketiga skenario ini diterapkan secara bersamaan, maka dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun atau setara dengan 1,5% dari PDB. Selain itu, dampak terhadap penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun yang setara dengan 7% dari total penerimaan perpajakan nasional. Kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) dan produk turunannya atau 1,6% dari total penduduk bekerja. Tauhid Ahmad, Ekonom Senior INDEF, memaparkan perhitungan dampak dari penerapan tiga skenario yang dilakukan. Skenario pertama, yakni aturan kemasan rokok polos tanpa merek dapat mendorong fenomena
downtrading hingga
switching dari rokok legal ke rokok ilegal secara lebih cepatsehingga dapat menurunkan permintaan produk legal sebesar 42,09%. "Lalu, skenario kedua, adanya larangan penjualan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak akan berdampak terhadap penurunan ritel rokok sebesar 33,08%," ungkapnya dalam keterangan yang diterima Kontan, Selasa (24/09). Terakhir, skenario ketiga, adanya pembatasan iklan rokok luar ruang dalam radius 500 meter di luar satuan pendidikan serta pembatasan iklan TV dan online juga berpotensi menurunkan permintaan jasa periklanan hingga 15%. Dari skenario pertama didapatkan hasil bahwa terdapat potensi dampak ekonomi yang hilang sebesar Rp182,2 triliun, sementara penerimaan perpajakan yang dapat menurun hingga Rp95,6 triliun. Kemudian, pada skenario kedua, menghasilkan perhitungan potensi dampak ekonomi yang hilang sebesar Rp84 triliun dan penerimaan perpajakan terdampak sebesar Rp43,5 triliun. Lalu, skenario ketiga didapatkan hasil bahwa dampak ekonomi yang hilang mencapai Rp41,8 triliun serta Rp21,5 triliun penerimaan perpajakan terdampak. Tauhid juga menjelaskan bahwa kebijakan PP 28/2024 serta RPermenkes perlu melibatkan setiap pemangku kepentingan dalam ekosistem Industri Hasil Tembakau (IHT), bukan hanya pelaku usaha, namun juga kementerian dan lembaga yang terlibat. "Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki ekosistem IHT yang kompleks dan berbeda dari negara lain yang telah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana mayoritas negara tersebut bukan merupakan negara penghasil tembakau maupun produk hasil tembakau serta memiliki kontribusi pajak rokok yang relatif rendah," tambahnya. Hari Prasetiyo, Praktisi Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, menekankan bahwa RPERMENKES ini seolah-olah meratifikasi FCTC dan melebihi wewenang yang diatur dalam PP 28/2024. Ia juga mengkritik Kementerian Kesehatan karena dianggap tidak objektif dalam mengatur produk yang mengandung zat adiktif. Hari turut menyoroti bahwa Kementerian Kesehatan tidak membuka ruang diskusi publik yang mumpuniselama proses perancangan RPermenkes.
"Hal tersebut memunculkan berbagai pertanyaan dari masyarakat, baik dari sisi hak konsumen dalam memperoleh informasi hingga dampak terhadap industri tembakau akibat penerapan kemasan rokok polos tanpa merek," ungkapnya. Dengan ketentuan kemasan rokok polos, maka suatu ‘merek’ tidak lagi menjadi faktor penentu dan konsumen dapat beralih ke rokok yang lebih murah, sehingga jumlah konsumsi rokok akan tetap tinggi. "Aturan ini juga melanggar aspek perlindungan konsumen. Maka, Hari menegaskan pentingnya untuk mempertimbangkan kembali rencana aturan tersebut dan melakukan komunakasi kebijakan terhadap pemangku kepentingan yang terdampak," tutupnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati