KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pertumbuhan industri tempe dan tahu nasional masih menunjukkan tren positif seiring meningkatnya konsumsi masyarakat. Namun, pelaku industri mengingatkan bahwa ketahanan sektor ini sangat bergantung pada pengelolaan rantai pasok kedelai, efisiensi biaya produksi, serta kejelasan kebijakan penggunaan kedelai lokal dan impor. Sekretaris Jenderal Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (GAKOPTINDO) Wibowo Nurcahyo menilai, segmentasi penggunaan kedelai lokal dan impor menjadi strategi kunci untuk menjaga keberlanjutan industri sekaligus menekan risiko inflasi pangan.
Baca Juga: Energi Alternatif Bobibos Manfaatkan Jerami, Pakar Ingatkan Tantangan Skala Produksi “Kalau segmentasinya tidak jelas, tekanan harga akan terus terjadi. Padahal tempe dan tahu merupakan komoditas protein rakyat,” ujar Wibowo dalam keterangannya, Selasa (16/12/2025). Menurutnya, kebutuhan kedelai nasional saat ini mencapai sekitar 2,9 juta ton per tahun. Namun, serapan kedelai lokal oleh industri masih di bawah 100.000 ton, sehingga ketergantungan terhadap impor dinilai masih tidak terhindarkan dalam jangka menengah. “Menutup impor itu tidak realistis. Yang perlu dilakukan adalah mengatur peruntukannya agar tidak saling mengganggu,” tegasnya. Di sisi hulu, GAKOPTINDO tengah menyiapkan sejumlah program strategis untuk 2026, salah satunya modernisasi pabrik tempe dan tahu agar lebih higienis, layak, serta hemat energi. Biaya energi, khususnya bahan bakar, masih menjadi beban utama para perajin.
Baca Juga: Kemendag Revisi Aturan Minyakita, Peran BUMN Distribusi Diperkuat Untuk itu, GAKOPTINDO berencana meluncurkan mesin produksi baru pada Mei 2026 di Yogyakarta yang diklaim mampu menghemat energi hingga 52%. Efisiensi ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas produksi tanpa harus menaikkan harga jual di tingkat konsumen. “Kalau biaya bisa ditekan, industri bisa tumbuh tanpa membebani masyarakat,” kata Wibowo. Selain efisiensi, isu regenerasi perajin juga menjadi perhatian serius. Banyak anak perajin enggan melanjutkan usaha keluarga, padahal potensi nilai tambah dari produk turunan tempe dan tahu dinilai cukup besar. GAKOPTINDO menargetkan pembentukan minimal 100 wirausaha baru melalui program inkubator bisnis produk turunan kedelai. Program ini diharapkan mampu menciptakan ekosistem industri tempe dan tahu yang lebih modern dan bernilai tambah.
Baca Juga: Pengusaha Sambut Penundaan Cukai Minuman Berpemanis, Begini Kata Asrim dan Gapmmi “Produk turunannya jauh lebih menguntungkan, tetapi belum banyak digarap secara serius,” ujarnya. Terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG), GAKOPTINDO mendorong penggunaan kedelai lokal non-GMO sebagai bahan baku tempe, tahu, dan susu kedelai untuk segmen tersebut. Langkah ini dinilai sejalan dengan agenda ketahanan pangan dan Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Namun, untuk konsumsi masyarakat umum, kedelai impor tetap diperlukan guna menjaga harga tetap terjangkau. Wibowo menilai, tanpa segmentasi yang jelas, risiko kelangkaan dan lonjakan harga akan semakin besar, terutama jika program MBG berjalan hingga 2045. “Sudah ada daerah yang mulai mengalami kenaikan harga dan kesulitan pasokan. Kalau tidak diantisipasi, ini bisa memicu inflasi,” ujarnya. Wibowo menambahkan, komunikasi dengan importir kedelai sejauh ini berjalan baik. GAKOPTINDO mengambil posisi menjaga keseimbangan antara serapan kedelai lokal dan kelancaran impor.
Baca Juga: Antam (ANTM) Optimistis Dapat Perkuat Pasokan Bahan Baku Emas dari Dalam Negeri “Kami mendukung program pemerintah, tapi di saat yang sama harus menjaga stabilitas industri. Kebijakan impor nanti seperti apa, itu ranah pemerintah,” katanya. Dengan konsumsi tempe rata-rata 1,5 kilogram per rumah tangga per bulan dan tahu sekitar 1,7–1,8 kilogram, stabilitas pasokan kedelai menjadi krusial bagi ketahanan pangan nasional.
“Intinya, semua pihak harus aman dan nyaman. Segmentasi kedelai lokal dan impor adalah kunci agar industri tetap berjalan, harga stabil, dan kebutuhan protein masyarakat terpenuhi,” pungkas Wibowo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News