Industri wajib pasok 20% minyak goreng murah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Usai menetapkan harga eceran tertinggi (HET) Rp 11.000 per liter, pemerintah merilis beleid baru yang wajib dipatuhi produsen minyak goreng. Kementerian Perdagangan (Kemdag) mengharuskan pengusaha minyak goreng memasok pasar domestik alias domestic market obligation ( DMO) sebesar 20% dari total produksi.

Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menjelaskan, kebijakan tersebut akan berlaku pada Januari 2018. Minyak goreng yang dijual dalam mekanisme DMO haruslah minyak goreng dalam kemasan sederhana, sehingga harganya bisa sesuai dengan HET.

Minyak goreng kemasan sederhana untuk DMO ini, terbagi dalam tiga varian. Pertama kemasan 1 liter yang akan dijual sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yaitu Rp 11.000. Produsen minyak goreng juga dapat menjual kemasan liter dengan harga Rp 6.000 dan kemasan liter seharga Rp 3.250. "Setiap kemasan wajib mencantumkan harga eceran," ujar Enggar, Kamis (16/11).


Kehadiran minyak goreng kemasan sederhana ini diharapkan bisa membantu masyarakat untuk menjangkau minyak goreng dengan harga murah. Selain itu, minyak goreng kemasan sederhana dapat menggantikan minyak goreng curah yang tidak higienis. "Nanti secara bertahap kita akan kurangi yang minyak goreng curah sehingga tingkat kesehatannya terjamin," terang Enggar.

Pada rapat itu Enggar mengingatkan agar toko ritel modern harus menyediakan minyak goreng kemasan sederhana. Kewajiban tersebut juga harus diterapkan oleh ritel modern di luar Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Toko yang menjual minyak goreng kemasan sederhana di atas HET akan diberi peringatan, bahkan bisa berujung pada sanksi.

Pintu ekspor

Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyanggupi keputusan DMO. Namun, Ketua GIMNI Sahat Sinaga mengingatkan, besaran DMO 20% akan melebihi kebutuhan minyak goreng curah di pasar.

Catatan GIMNI, kapasitas produksi minyak goreng dalam negeri sebesar 54 juta ton per tahun. Sedangkan penjualan minyak goreng curah per tahun hanya 3,4 juta ton.

Apabila 20% dialokasikan untuk minyak goreng kemasan sederhana, berarti volume yang harus dijual ke pasar domestik sekitar 10,8 juta ton per tahun. Jika produk tak terserap, pengusaha bakal menanggung rugi.

Selain itu, produksi minyak goreng kemasan sederhana membuat pengusaha yang hanya memproduksi minyak goreng kesulitan. Selain margin yang kecil, perusahaan juga sulit mengekspor karena biaya pungutan yang besar. "Ada beberapa perusahan tutup karena mereka cuma bisnis minyak," terang Sahat.

Ada lima perusahaan produsen minyak goreng yang tutup. Perusahaan tersebut tergolong perusahaan dengan kapasitas produksi kecil di bawah 600 ton per hari. Namun, Sahat enggan mengungkap identitas ketiganya.

Sahat meminta agar pemerintah membuka keran ekspor. Hal itu mengingat produksi yang melebihi kebutuhan domestik. Selain itu, Sahat bilang, dana pungutan ekspor yang diterapkan pemerintah terlalu besar.

GIMNI meminta pungutan ekspor bagi Refined, Bleached and Deodorised Oil (RBDO) diturunkan dari US$ 30 per ton menjadi US$ 5 per ton. Selain itu pungutan ekspor minyak goreng kemasan di bawah 25 kilogram (kg) yang sebelumnya US$ 20 menjadi US$ 0. "Dengan begitu, kami bisa berkompetisi dengan Malaysia," jelas Sahat.

Ketua Umum Aprindo, Roy Mandey menyatakan siap menjual minyak goreng kemasan di seluruh gerai. Namun, Aprindo mengingatkan, pasokan minyak goreng kemasan sederhana di sejumlah daerah tersendat. "Beberapa daerah masih mengalami kesulitan stok minyak goreng (kemasan sederhana), seperti Palu dan daerah timur seperti Sulawesi Tengah, Kendari, Bau-Bau, dan Ambon," jelas Roy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini