JAKARTA. PT Indika Energy Tbk (INDY) kini bisa bernafas lega. Emiten pertambangan terintegrasi ini akhirnya bisa terbebas sengketa pajak dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Kementerian Keuangan yang mengemuka sejak tahun 2007 silam.Sengketa selesai seiring keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) atas permohonan peninjauan kembali Ditjen Pajak atas keputusan Pengadilan Pajak yang memenangkan INDY pada 20 April 2009. Dalam laporan keuangan INDY tahun buku 2013 yang dirilis, Kamis (27/3), induk PT Petrosea Tbk (PTRO) ini menyatakan MA telah menolak permohonan peninjauan kembali Ditjen Pajak dan telah mengirim amar putusan ke Pengadilan Pajak pada 30 Desember 2013. Namun, "sampai dengan tanggal penerbitan laporan keuangan konsolidasian, keputusan Mahkamah Agung tersebut belum disampaikan oleh Pengadilan Pajak kepada Perusahaan (INDY)," tulis manajemen INDY dalam laporan keuangan 2013 hal. 169. Keputusan ini membebaskan INDY dari kewajiban membayar pajak lebih tinggi atas transaksi penggabungan usaha (merger) yang dilakukan pada 2007 lalu, atau sebelum mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kala itu, INDY bersama PT Tripatra Company (TPC) dan PT Ganesha Intra Develeopment Company (GID) meneken perjanjian merger yang kemudian dicatatkan dalam akta notaris tertanggal 15 Februari 2007. TPC dan GID kemudian melebur ke dalam INDY. Hasil penggabungan usaha ini berlaku efektif sejak 2 Maret 2007. Sehubungan dengan proses merger tersebut, INDY kemudian mengajukan permohonan kepada Ditjen Pajak agar bisa menggunakan nilai buku dalam aksi merger tersebut, sebagai basis perhitungan pajak. Persoalannya, Ditjen Pajak tiga kali mengeluarkan surat penolakan atas permintaan INDY. Ditjen Pajak menerbitkan surat terakhir penolakan permintaan INDY pada 29 Mei 2008. INDY tidak tinggal diam. Emiten milik Wiwoho Basuki Tjokronegoro dan Agus Lesmono ini kemudian mengajukan banding ke pengadilan pajak tanggal 17 Juni 2008. Di tingkat banding, pengadilan pajak memenangkan INDY. Keputusan tersebut terbit pada 20 April 2009. Pengadilan pajak rupanya menyetujui penggunaan nilai buku sebagai basis perhitungan pajak dalam transaksi merger antara INDY, TPC dan GID. Ditjen Pajak tentu saja keberatan dengan putusan itu. Pada September 2009, Ditjen Pajak mengakukan permohonan peninjauan kembali atas keputusan Pengadilan Pajak. Permohonan inilah yang kemudian ditolak MA pada akhir tahun lalu. Permohonan peninjauan kembali yang diajukan Ditjen Pajak sempat membuat waswas INDY. Mereka bahkan sudah mengantisipasi kemungkinan MA mengabulkan permohonan Ditjen Pajak. Berdasarkan laporan keuangan per September 2013, INDY menyatakan bahwa para pemegang saham TPC, GID dan INDY telah sepakat akan menanggung dampak perpajakan akibat putusan MA. Namun, hingga kini, INDY tidak mau terbuka soal nilai total pajak yang harus dibayarkan atas transaksi merger tersebut. Presiden Direktur INDY, Wishnu Wardhana, maupun Retina Rosabai, Vice-President Investor Relation INDY, tidak merespon pertanyaan dari KONTAN.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
INDY terbebas dari sengketa pajak
JAKARTA. PT Indika Energy Tbk (INDY) kini bisa bernafas lega. Emiten pertambangan terintegrasi ini akhirnya bisa terbebas sengketa pajak dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Kementerian Keuangan yang mengemuka sejak tahun 2007 silam.Sengketa selesai seiring keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) atas permohonan peninjauan kembali Ditjen Pajak atas keputusan Pengadilan Pajak yang memenangkan INDY pada 20 April 2009. Dalam laporan keuangan INDY tahun buku 2013 yang dirilis, Kamis (27/3), induk PT Petrosea Tbk (PTRO) ini menyatakan MA telah menolak permohonan peninjauan kembali Ditjen Pajak dan telah mengirim amar putusan ke Pengadilan Pajak pada 30 Desember 2013. Namun, "sampai dengan tanggal penerbitan laporan keuangan konsolidasian, keputusan Mahkamah Agung tersebut belum disampaikan oleh Pengadilan Pajak kepada Perusahaan (INDY)," tulis manajemen INDY dalam laporan keuangan 2013 hal. 169. Keputusan ini membebaskan INDY dari kewajiban membayar pajak lebih tinggi atas transaksi penggabungan usaha (merger) yang dilakukan pada 2007 lalu, atau sebelum mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kala itu, INDY bersama PT Tripatra Company (TPC) dan PT Ganesha Intra Develeopment Company (GID) meneken perjanjian merger yang kemudian dicatatkan dalam akta notaris tertanggal 15 Februari 2007. TPC dan GID kemudian melebur ke dalam INDY. Hasil penggabungan usaha ini berlaku efektif sejak 2 Maret 2007. Sehubungan dengan proses merger tersebut, INDY kemudian mengajukan permohonan kepada Ditjen Pajak agar bisa menggunakan nilai buku dalam aksi merger tersebut, sebagai basis perhitungan pajak. Persoalannya, Ditjen Pajak tiga kali mengeluarkan surat penolakan atas permintaan INDY. Ditjen Pajak menerbitkan surat terakhir penolakan permintaan INDY pada 29 Mei 2008. INDY tidak tinggal diam. Emiten milik Wiwoho Basuki Tjokronegoro dan Agus Lesmono ini kemudian mengajukan banding ke pengadilan pajak tanggal 17 Juni 2008. Di tingkat banding, pengadilan pajak memenangkan INDY. Keputusan tersebut terbit pada 20 April 2009. Pengadilan pajak rupanya menyetujui penggunaan nilai buku sebagai basis perhitungan pajak dalam transaksi merger antara INDY, TPC dan GID. Ditjen Pajak tentu saja keberatan dengan putusan itu. Pada September 2009, Ditjen Pajak mengakukan permohonan peninjauan kembali atas keputusan Pengadilan Pajak. Permohonan inilah yang kemudian ditolak MA pada akhir tahun lalu. Permohonan peninjauan kembali yang diajukan Ditjen Pajak sempat membuat waswas INDY. Mereka bahkan sudah mengantisipasi kemungkinan MA mengabulkan permohonan Ditjen Pajak. Berdasarkan laporan keuangan per September 2013, INDY menyatakan bahwa para pemegang saham TPC, GID dan INDY telah sepakat akan menanggung dampak perpajakan akibat putusan MA. Namun, hingga kini, INDY tidak mau terbuka soal nilai total pajak yang harus dibayarkan atas transaksi merger tersebut. Presiden Direktur INDY, Wishnu Wardhana, maupun Retina Rosabai, Vice-President Investor Relation INDY, tidak merespon pertanyaan dari KONTAN.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News