Inflasi AS Juni 2023 Terendah dalam 2 Tahun, Bisa Berdampak Positif di Pasar Modal RI



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Inflasi Amerika Serikat (AS) untuk bulan Juni 2023 mengalami penurunan yang lebih rendah dari yang diperkirakan, yaitu sebesar 3% year on year (yoy), dibandingkan dengan 4% yoy pada bulan Mei 2023. Ini merupakan level terendah sejak tahun 2021.

Dengan adanya inflasi yang rendah tersebut, bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), akan mengadopsi kebijakan suku bunga yang lebih moderat, dan sebagai akibatnya, nilai tukar rupiah menguat. Secara bulanan, tingkat inflasi naik sebesar 0,2%, yang juga lebih rendah dari perkiraan. Harga konsumen inti (Core Consumer Price Index/CPI), yang menghilangkan fluktuasi harga makanan dan energi, juga mengalami kenaikan yang kurang dari yang diharapkan.

Valdy Kurniawan, Kepala Riset Phintraco Sekuritas, menyatakan bahwa pengaruh inflasi AS ini berpotensi memberikan dampak positif pada pasar modal Indonesia. Penurunan inflasi yang lebih dalam dari perkiraan pasar membangun keyakinan bahwa The Fed akan mengikuti jalur kebijakan moneter yang telah diindikasikan oleh Kepala The Fed, Jerome Powell, dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) terakhir.


Baca Juga: Entitas Anak Indomobil (IMAS), Wahana Inti Selaras Terbitkan Obligasi Rp 3 Triliun

"Dengan demikian, ada potensi dampak positif pada pasar modal Indonesia. Penurunan inflasi yang lebih dalam dari perkiraan pasar membangun keyakinan bahwa The Fed akan mengikuti jalur kebijakan moneter sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Kepala The Fed, Jerome Powell, dalam pertemuan FOMC terakhir. Dengan demikian, hanya tersisa dua kali kenaikan suku bunga acuan lagi," kata Valdy kepada Kontan, pada Kamis (13/7).

Valdy menambahkan bahwa salah satu dampak langsungnya adalah potensi penguatan nilai tukar rupiah, seiring dengan penurunan risiko keluarnya modal dari Indonesia. Dampak jangka panjangnya adalah potensi pemulihan perdagangan dunia yang dapat memberikan dampak positif pada kinerja ekspor Indonesia. Net ekspor merupakan salah satu komponen pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Di sisi lain, beberapa sektor yang sensitif terhadap suku bunga berpotensi mendapatkan dampak langsung dari inflasi AS ini, mengingat data tersebut akan mempengaruhi arah kebijakan suku bunga The Fed yang juga akan mempengaruhi kebijakan moneter Bank Indonesia.

Baca Juga: Harga Minyak Dunia Terus Naik Kamis (13/7): Brent ke US$80,47 dan WTI ke US$76,04

"Suku bunga acuan atau kebijakan moneter yang lebih akomodatif dapat menjadi katalis positif bagi saham-saham di sektor yang sensitif terhadap suku bunga. Saham-saham perbankan, properti dan real estat, otomotif, hingga teknologi berpotensi mendapatkan katalis positif, terutama dalam jangka pendek sebagai respons terhadap perubahan pandangan pasar," ujar Valdy.

Valdy memperkirakan bahwa IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) pada akhir tahun akan berada dalam kisaran 7.100-7.200. Sementara itu, Pandhu Dewanto, Analis Investindo Nusantara Sekuritas, menyoroti inflasi AS ini sebagai dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Daya beli masyarakat akan pulih sehingga pertumbuhan ekonomi juga akan lebih cepat.

"Tingkat inflasi yang lebih rendah akan membuat The Fed menghentikan siklus kenaikan suku bunga dan diperkirakan pada akhir tahun akan mulai menurunkan suku bunga. Dengan demikian, pelaku usaha akan mendapatkan akses pendanaan yang lebih murah dan menggunakannya untuk melakukan ekspansi usaha. Secara sederhana, siklus perekonomian akan berbalik dan masuk ke fase ekspansif," kata Pandu kepada Kontan, pada Kamis (13/7).

Baca Juga: Unitlink dengan Imbal Hasil Terbesar Berdasarkan Penempatan Dana, Ini Jawaranya

Menurutnya, secara global, sektor yang paling diuntungkan adalah sektor konsumen yang terkait erat dengan daya beli masyarakat yang akan meningkat. Selain itu, sektor teknologi dan saham-saham pertumbuhan yang membutuhkan modal besar untuk melakukan ekspansi dan promosi juga akan mendapatkan manfaat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli