Inflasi AS Masih Kuat, Ini Dampaknya Bagi Pasar Obligasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan inflasi Consumer Price Index (CPI) Amerika Serikat (AS) pada September 2023 yang tetap kuat memupuskan harapan para pelaku pasar atas kemungkinan pembalikan tren inverted bear steepening di pasar US Treasury (UST). Yield UST tenor 10 tahun dan Bund kembali naik masing-masing sebesar 14 bps dan 7 bps menjadi 4,7% dan 2,79%. 

Macro Strategist Samuel Sekuritas Lionel Priyadi mencatat, indeks obligasi S&P untuk developed market serta EMBI untuk emerging market turun 0,4%. Di sisi lain, indeks dolar menguat 0,7% menjadi 106,6. 

Menurutnya, kembalinya sentimen bearish di pasar global akan menekan naik yield 10Y INDOGB kembali ke level 7% dengan proyeksi puncak yield di rentang 7,2%-7.3%. 


"Samuel Sekuritas memperkirakan yield 10Y INDOGB akan naik menuju rentang 6,8%-6,9% hari ini," kata Lionel dalam risetnya, Jumat (13/10).

Baca Juga: Saham Asia Tumbang, Data Inflasi AS Menghidupkan Kembali Potensi Kenaikan Suku Bunga

Sementara itu, rupiah akan kembali melemah ke rentang Rp 15.700-Rp 15.800 per dolar AS. Apabila rupiah ditutup lebih tinggi dari Rp 15.750 per USD, maka rupiah berpotensi terus melemah menuju Rp 16.000 per USD.

Sebagai informasi, inflasi CPI AS bertahan di 3,7% year on year (YoY) pada bulan September 2023, sama seperti Agustus 2023 dan lebih tinggi dari perkiraan konsensus sebesar 3,6%. 

Sementara itu, inflasi inti CPI AS turun menjadi 4,1% YoY, sesuai konsensus dan lebih rendah dari Agustus 2023 yang sebesar 4,3%.

Tekanan inflasi CPI yang masih kuat akibat tingginya harga minyak September memicu kekhawatiran pelaku pasar terhadap kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed di kuartal IV-2023. Hal ini tercermin dari naiknya probabilitas kenaikan suku bunga The Fed di bulan Desember menjadi 32% dari sebelumnya 26%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi