JAKARTA. Setelah inflasi tinggi terjadi di Januari, inflasi di Februari diprediksi akan melunak. Para analis memperkirakan inflasi bulanan takkan mencapai 0,5%. Inflasi mendingin lantaran harga pangan tak setinggi bulan lalu plus kurs rupiah yang perkasa.Pengamat ekonomi UGM Tony Prasetiantono memperkirakan, inflasi bulan Februari 2011 akan berada di antara 0,2% hingga 0,3%. Ini jauh di bawah inflasi bulanan di Januari lalu yang mencapai 0,89%. Dengan inflasi bulanan di kisaran itu, ia menghitung inflasi tahunan atau year on year (yoy) sampai Februari akan berkisar 6,9%-7,0%.Tony menjelaskan, ini lantaran tekanan inflasi pangan terutama beras agak mereda, karena mulai ada panenan. "Meski panenan belum mencapai puncak dan masih diganggu hujan yang masih cukup besar," ucapnya.Ia mengatakan, harga minyak dunia yang naik ke atas US$ 100 per barel juga menyumbang inflasi, meski kecil. "Karena masih ada BBM bersubsidi," imbuhnya. Lagi pula, penguatan nilai tukar rupiah yang anteng di bawah Rp 9.000 per dollar juga menjaga inflasi tetap rendah.Chief Economist Mandiri Sekuritas Destry Damayanti, menghitung bahwa inflasi Februari akan berada pada level 0,4%. Lantas, inflasi year on year (yoy) di Februari sebesar 7,12%.Ia melihat, faktor yang mempengaruhi inflasi khususnya adalah sektor makanan jadi. "Akibat tingginya inflasi di makanan bahan mentah yang mulai tertransmisikan di makanan jadi. Selain itu juga naiknya harga obat," ucapnya, Minggu (27/2). Seperti Tony, ia berpendapat penguatan rupiah di Februari pun menekan inflasi di bulan Februari.Pengamat Ekonomi Standart Chartered Bank Eric Alexander juga memprediksi inflasi bulanan Februari sebesar 0,4% dan inflasi tahunan 7,1%. Menurutnya, hasil ini dipengaruhi oleh harga beras yang sudah mulai stabil karena mulai banyak panen raya. "Tetapi selain beras juga ada komoditas lainnya yang mengganggu inflasi yaitu naiknya harga gandum dan gula," tutur Eric. Bunga tetap duluPara analis berpendapat, hingga sementara ini, konflik politik di Timur Tengah dan Afrika yang mendongkrak harga minyak dunia naik, belum terlalu berdampak terhadap laju inflasi. "Konflik di Timur Tengah sejauh ini belum memberikan dampak ke inflasi karena belum tercermin dalam harga BBM domestik," terang Destry.Sedangkan Eric menyarankan pemerintah bersiaga. Apalagi jika ternyata nanti pembatasan BBM bersubsidi jadi berjalan. "Saya rasa inflasi akan ikut meloncat," ujarnya.Bahkan kalau pembatasan BBM bersubsidi itu diundur pun, tetap ada kekhawatiran. Apabila krisis berkepanjangan, harga minyak akan bergerak liar. Bisa-bisa ini akan membengkakkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan memaksa pemerintah untuk menaikkan harga BBM domestik, yang pada akhirnya akan mendorong inflasi. "Fase kritisnya akan terlihat dalam dua bulan mendatang," imbuh Destry.Ia menghitung, daya tahan anggaran pemerintah hanya akan sampai harga minyak mencapai US$ 110 per barel. Ketika harga minyak sudah mencapai level itu, subsidi akan membengkak. Ini akan mendorong defisit anggaran mencapai 2,1% PDB, dari yang saat ini 1,8%.Melihat inflasi Februari yang tak terlalu tinggi, para analis menyarankan agar BI menahan bunga acuan (BI rate) dulu. "Saya rasa enggak perlu, justru kebijakan fiskal pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan operasi pasar terbuka bahan pangan yang harus diaktifkan untuk menstabilkan supply dan harga makanan," kata Destry.Tony pun mengungkapkan hal serupa. Menurut dia, BI untuk sementara bisa menahan BI rate tetap 6,75%. "Karena rupiah juga masih menguat dan cadangan devisa yang mencatat rekor baru US$ 97 miliar," terangnya.Hanya saja, ke depan bisa saja BI rate naik, andaikata gejolak harga pangan terus berlanjut dan harga minyak makin melonjak, dan inflasi terancam melesat. Ketika itu, Bank Indonesia boleh memakai instrumen bunga untuk meredamnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Inflasi Februari mungkin tak seliar inflasi Januari
JAKARTA. Setelah inflasi tinggi terjadi di Januari, inflasi di Februari diprediksi akan melunak. Para analis memperkirakan inflasi bulanan takkan mencapai 0,5%. Inflasi mendingin lantaran harga pangan tak setinggi bulan lalu plus kurs rupiah yang perkasa.Pengamat ekonomi UGM Tony Prasetiantono memperkirakan, inflasi bulan Februari 2011 akan berada di antara 0,2% hingga 0,3%. Ini jauh di bawah inflasi bulanan di Januari lalu yang mencapai 0,89%. Dengan inflasi bulanan di kisaran itu, ia menghitung inflasi tahunan atau year on year (yoy) sampai Februari akan berkisar 6,9%-7,0%.Tony menjelaskan, ini lantaran tekanan inflasi pangan terutama beras agak mereda, karena mulai ada panenan. "Meski panenan belum mencapai puncak dan masih diganggu hujan yang masih cukup besar," ucapnya.Ia mengatakan, harga minyak dunia yang naik ke atas US$ 100 per barel juga menyumbang inflasi, meski kecil. "Karena masih ada BBM bersubsidi," imbuhnya. Lagi pula, penguatan nilai tukar rupiah yang anteng di bawah Rp 9.000 per dollar juga menjaga inflasi tetap rendah.Chief Economist Mandiri Sekuritas Destry Damayanti, menghitung bahwa inflasi Februari akan berada pada level 0,4%. Lantas, inflasi year on year (yoy) di Februari sebesar 7,12%.Ia melihat, faktor yang mempengaruhi inflasi khususnya adalah sektor makanan jadi. "Akibat tingginya inflasi di makanan bahan mentah yang mulai tertransmisikan di makanan jadi. Selain itu juga naiknya harga obat," ucapnya, Minggu (27/2). Seperti Tony, ia berpendapat penguatan rupiah di Februari pun menekan inflasi di bulan Februari.Pengamat Ekonomi Standart Chartered Bank Eric Alexander juga memprediksi inflasi bulanan Februari sebesar 0,4% dan inflasi tahunan 7,1%. Menurutnya, hasil ini dipengaruhi oleh harga beras yang sudah mulai stabil karena mulai banyak panen raya. "Tetapi selain beras juga ada komoditas lainnya yang mengganggu inflasi yaitu naiknya harga gandum dan gula," tutur Eric. Bunga tetap duluPara analis berpendapat, hingga sementara ini, konflik politik di Timur Tengah dan Afrika yang mendongkrak harga minyak dunia naik, belum terlalu berdampak terhadap laju inflasi. "Konflik di Timur Tengah sejauh ini belum memberikan dampak ke inflasi karena belum tercermin dalam harga BBM domestik," terang Destry.Sedangkan Eric menyarankan pemerintah bersiaga. Apalagi jika ternyata nanti pembatasan BBM bersubsidi jadi berjalan. "Saya rasa inflasi akan ikut meloncat," ujarnya.Bahkan kalau pembatasan BBM bersubsidi itu diundur pun, tetap ada kekhawatiran. Apabila krisis berkepanjangan, harga minyak akan bergerak liar. Bisa-bisa ini akan membengkakkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan memaksa pemerintah untuk menaikkan harga BBM domestik, yang pada akhirnya akan mendorong inflasi. "Fase kritisnya akan terlihat dalam dua bulan mendatang," imbuh Destry.Ia menghitung, daya tahan anggaran pemerintah hanya akan sampai harga minyak mencapai US$ 110 per barel. Ketika harga minyak sudah mencapai level itu, subsidi akan membengkak. Ini akan mendorong defisit anggaran mencapai 2,1% PDB, dari yang saat ini 1,8%.Melihat inflasi Februari yang tak terlalu tinggi, para analis menyarankan agar BI menahan bunga acuan (BI rate) dulu. "Saya rasa enggak perlu, justru kebijakan fiskal pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan operasi pasar terbuka bahan pangan yang harus diaktifkan untuk menstabilkan supply dan harga makanan," kata Destry.Tony pun mengungkapkan hal serupa. Menurut dia, BI untuk sementara bisa menahan BI rate tetap 6,75%. "Karena rupiah juga masih menguat dan cadangan devisa yang mencatat rekor baru US$ 97 miliar," terangnya.Hanya saja, ke depan bisa saja BI rate naik, andaikata gejolak harga pangan terus berlanjut dan harga minyak makin melonjak, dan inflasi terancam melesat. Ketika itu, Bank Indonesia boleh memakai instrumen bunga untuk meredamnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News