KONTAN.CO.ID-JAKARTA Kalangan pengamat ekonomi melihat bahwa Bank Indonesia (BI) masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuannya pada tahun depan. Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana mengatakan bahwa BI masih berpotensi menurunkan suku bunga BI rate pada tahun depan, meski potensi penurunan tersebut mungkin sedikit dengan dinamika politik internasional, khususnya terkait dengan kemenangan Donald Trump dalam pemilu Amerika Serikat (AS). Menurutnya, penurunan suku bunga di Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama inflasi global dan kebijakan moneter dari
The Federal Reserve (The Fed).
"Mungkin ya ada ruang penurunan untuk BI menurunkan suku bunga acuannya. Apalagi
cost of fund kita kayanya sudah terlalu tinggi sih sekarang," ujar Fikri kepada Kontan.co.id, Rabu (6/11). Fikri juga menyoroti inflasi domestik Indonesia yang saat ini cukup terkendali. Ia menilai, dengan inflasi yang terkendali tersebut, BI mungkin akan lebih leluasa untuk memangkas suku bunga guna mendukung pemulihan ekonomi.
Baca Juga: Bos BI Ramal Suku Bunga The Fed Turun ke Level 3,50% di 2025 Selain itu, Fikri menyebut bahwa BI juga memiliki urgensi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik, dan penurunan suku bunga bisa menjadi salah satu instrumen untuk mencapainya. "Saya pikir BI juga ada urgensi untuk
pro-growth ya, dorong pertumbuhan ekonomi selain dari sisi fiskal," katanya. Mengenai proyeksi suku bunga di 2024, Fikri memperkirakan bahwa BI akan mengikuti langkah The Fed dalam penurunan suku bunga. "Saya melihat kemungkinan FFR bisa turun antara 50-70 basis point di tahun depan. Saya pikir mungkin BI akan juga di level itu si antara 50-70 basis point di tahun depan," terang Fikri. Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA), David Sumual, mengungkapkan bahwa faktor eksternal masih menjadi pendorong utama dalam ekspektasi penurunan BI Rate pada tahun depan. David menilai, meski tekanan inflasi domestik relatif terkendali, harga bahan pangan dan produk impor yang stabil memberikan ruang bagi BI untuk mempertahankan kebijakan suku bunga yang lebih rendah. "Inflasi masih relatif terjaga karena harga bahan pangan dan produk impor yang stabil," kata David. Kendati begitu, menurut David, risiko eksternal tetap perlu menjadi perhatian utama bagi kebijakan ekonomi Indonesia. Salah satunya adalah kebijakan perdagangan Donald Trump, terkait tarif impor barang. Kebijakan tersebut berpotensi meningkatkan ketegangan dalam hubungan dagang global yang bisa berdampak negatif pada perekonomian domestik, terutama dalam konteks ekspor dan impor. Selain itu, kondisi geopolitik yang tidak stabil juga bisa menjadi faktor risiko yang memengaruhi prospek ekonomi Indonesia pada tahun depan. "Kebijakan Trump terkait tarif impor barang dan kondisi geopolitik masih faktor risiko yang perlu diwaspadai tahun depan," terangnya.
Baca Juga: Gubernur BI Melihat Ada Peluang Pemangkasan BI Rate di 2025 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati