KONTAN.CO.ID -WASHINGTON. Warga Amerika Serikat (AS) tengah dipusingkan dengan harga bahan bakar minyak bensin. Kini, harga rata-rata bensin di SA mencapai lebih dari US$ 5 per galon (sekitar 3,7 liter) atau setara dengan Rp 72.342 dengan kurs Rp 14.468 per dollar AS. Ini adalah harga tertinggi kedua, setelah tahun 2008 yang saat itu harga bensin mencapai US$ 5,41 per galon, berdasarkan data Kementerian Energi AS. Berdasarkan data AAA, lonjakan harga segalon bensin yang sebesar US$5 ini akan semakin menyulut inflasi di AS yang tercatat di level 8,3% di Mei 2022.
AAA mencatat, harga rata-rata nasional untuk gas tanpa timbal reguler naik menjadi US$ 5,004 per galon pada 11 Juni dibandingkan US$ 4,986 pada sehari sebelumnya.
Baca Juga: Biden Ingatkan Inflasi AS Bisa Bertahan untuk Sementara Waktu Mengutip
Reuters, Sabtu (11/6), harga bensin yang makin mahal juga membuat pusing bagi Presiden AS Joe Biden dan kongres Demokrat. Pasalnya, mereka berjuang untuk mempertahankan kendali atas kongres dengan pemilihan paruh waktu bakal digelar bulan November mendatang. Padahal, Biden juga telah menebar sinyal telah menarik banyak kendali untuk menurunkan harga, termasuk melepas cadangan strategis minyak AS untuk mengatasi lonjakan harga bensin saat musim panas. Biden juga telah minta negara-negara OPEC utama untuk meningkatkan outputnya. Hanya saja, harga bahan bakar telah melonjak di seluruh dunia karena kombinasi naiknya permintaan serta sanksi terhadap produsen minyak Rusia setelah invasinya ke Ukraina dan tekanan pada kapasitas penyulingan. Hanya saja, permintaan yang mendaki hanya hanya beberapa poin persentase di bawah tingkat pra-pandemi menyulut harga bensin. Namun para ekonom memperkirakan, permintaan ada kemungkinan akan menurun jika harga tetap di atas US$ 5 per barel "Level harga bensin yang bertahan US$5 bisa menyururkan permintaan bensin," sebut Reid L'Anson, ekonom senior di Kpler. Meski begitu, pengeluaran konsumen ditaksir masih tetap kuat meski di tengah tekanan inflasi di level tertinggi dalam lebih dari empat dekade. Ini lantaran rumah tangga AS mendapat dukungan program bantuan pandemi. Lalu, pasar tenaga kerja yang ketat juga telah memicu kenaikan upah, terutama bagi pekerja berpenghasilan rendah. Jika warga AS harus berhadapa dengan harga bensin yang tinggi, kenaikan harga diperkirakan akan membuat perusahaan raksasa migas (minyak dan gas) membukukan keuntungan besar. Shell melaporkan rekor kinerja kuartal pada bulan Mei. Lalu Chevron Corp dan BP telah membukukan angka terbaik mereka dalam satu dekade. Perusahaan besar lainnya, termasuk Exxon Mobil dan TotalEnergies, serta operator independen A.S., melaporkan kinerja bagus yang mendorong pembelian kembali atau buy back saham mereka serta membagikan dividen. Banyak perusahaan yang menyebut, saat ini mereka menghindari investasi berlebihan untuk meningkatkan output karena keinginan investor untuk menahan pengeluaran meski harga minyak mentah di atas US$ 100 per barel selama berbulan-bulan.
Baca Juga: U.S. Annual Inflation Posts Largest Gain in Nearly 41 Years Perusahaan penyulingan minyak mentah kini berjuang untuk meningkatkan produksi karena persediaan yang berkurang, terutama di Pantai Timur AS. Ini mencerminkan adanya ekspor ke Eropa yang tengah berupaya menghilangkan ketergantungan terhadap minyak Rusia. Saat ini, perusahaan penyulingan minyak mentaa menggunakan sekitar 94% dari kapasitas mereka, meski secara keseluruhan kapasitas penyulingan AS telah turun lantaran lima pabrik pengolahan minyak ditutup selama pandemi. Kata para analis, kondisi itu telah membuat Amerika Serikat secara struktural kekurangan kapasitas pemurnian untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade.
Editor: Titis Nurdiana