Inflasi Pangan Naik, Berimbas ke Daya Beli Masyarakat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan harga bahan pokok berdampak pada daya beli masyarakat, apalagi jika tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan. 

Pengamat pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian menilai kenaikan harga bahan pangan yang tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan membuat daya beli masyarakat semakin tergerus terutama kalangan menengah dan bawah.

"Proporsi pengeluaran untuk membeli bahan makanan terhadap total pengeluarannya itu 58% kelas menengah dan 65% kelas bawah. Kenaikan harga akan sangat mempengaruhi pola konsumsi mereka," kata Eliza kepada Kontan.co.id, Selasa (28/5).


Menurutnya, inflasi bahan pangan yang relatif tinggi bahkan sempat menyentuh 10% pada bulan lalu akan berdampak pada penurunan daya beli barang tersier dan sekunder yang tercermin dari melemahnya kemampuan beli masyarakat.

Baca Juga: Daya Beli Kelas Menengah Melemah, Anggota DPR Minta Ini ke Pemerintah

Eliza bilang, langkah pemerintah menaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) beberapa komoditas pangan bukanlah jalan keluar dari masalah daya beli masyarakat yang melemah. 

"Pemerintah menyibukkan diri dengan mencari solusi untuk bisa meningkatkan efisiensi distribusi, menegakkan pengawasan dan menindak tegas yang melakukan spekulasi, bukannya dengan menaikkan HET," terangnya. 

Dia menilai keputusan menaikkan HET tanpa ada upaya membenahi tata kelola pangan hanya akan menambah beban masyarakat di tengah pertumbuhan upah yang tidak sebanding dengan tingkat inflasi. 

Ketika daya beli melemah, semestinya pemerintah menyibukkan diri dengan mencari solusi untuk bisa meningkatkan efisiensi distribusi, menegakkan pengawasan dan menindak tegas yang melakukan spekulasi, bukannya dengan menaikkan HET.

Dia berpendapat bahwa harga pangan yang inelastis cenderung dimanfaatkan pihak-pihak yang hendak meraup keuntungan. 

"Karena pangan ini inelastis, jadinya harga naik pun tidak akan mempengaruhi tingkat konsumsinya, karena pangan kebutuhan dasar makhluk hidup. Inilah yang kerap dimanfaatkan pihak yang ingin meraup keuntungan," katanya. 

Baca Juga: Subsidi BBM Akan Dipangkas Rp 67,1 Triliun di 2025, Ekonomi Bisa Terdampak

Soal tata kelola pangan, Eliza menyebutkan, pemerintah perlu untuk mengidentifikasi akar masalah kenaikan harga. Misalnya untuk kasus beras dan minyak, pemerintah perlu untuk menelusuri akar masalah harga beras melonjak ketika stok gabah melimpah.

Begitupun dengan minyak, modal pedagang eceran untuk membeli MinyaKita Rp 15.000. Agar tetap untung, pedagang harus menjual di atas harga itu. 

Baginya, distribusi MinyaKita yg dikendalikan swasta inilah yg rentan penyalahgunaan, semestinya dilakukan oleh BUMN pangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi