Inflasi inti membaik, semoga daya beli mulai sembuh



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Daya beli konsumen menunjukkan tanda-tanda perbaikan pada Maret 2017. Ini terindikasi dari inflasi inti yang tercatat menunjukkan peningkatan. Diperkirakan daya beli konsumen terus meningkat terdorong momentum puasa dan Lebaran 2018.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi Maret 2018 sebesar 0,20%. Adapun inflasi secara tahunan atau year on year (yoy) adalah 3,4%, naik dibandingkan sebulan sebelumnya hanya 3,18%.

Menurut komponennya, tingkat inflasi inti Maret 2018 secara bulanan tercatat 0,19%, lebih kecil dibandingkan Februari 0,26%. Namun inflasi inti tahun ke tahun (yoy) pada Maret 2018 mencapai 2,67%, meningkat dibandingkan periode sama tahun sebelumnya 2,58%. Kenaikan inflasi inti yoy ini merupakan yang pertama sejak awal tahun.


Penguatan inflasi inti bisa menjadi petunjuk peningkatan kemampuan pembelian di masyarakat. Pasalnya, pergerakan inflasi inti tidak terpengaruh oleh naik-turun harga barang bergejolak, energi, dan harga yang diatur pemerintah. Perhitungan inflasi inti biasanya menggunakan barang-barang tahan lama.

Kepala BPS Suhariyanto menganalisa, kenaikan inflasi inti sebagai pertanda baik bagi ekonomi. "Inflasi inti tinggi andilnya, 0,10% bulan ini. Paling tinggi dibandingkan administeded prices yang andilnya 0,05%. Jadi saya pikir (ekonomi) sudah bergerak," jelas Suhariyanto saat memaparkan data inflasi di Gedung BPS, Senin (2/4).

Dengan inflasi inti yang naik, Suhariyanto bilang, dapat dikatakan permintaan (demand) terlihat lagi. Sebelumnya, inflasi inti terlihat tak bergairah. Pada Januari-Februari 2018, inflasi inti hanya 0,31% dan 0,26% lebih rendah dari inflasi Januari-Februari 2017 yakni 0,56% dan 0,37%.

"Bisa dibilang demand sudah ada lagi kelihatannya, tapi untuk lihat keseluruhan harus lihat hasil PDB (produk domestik bruto) triwulan I. Namun iya, ini menunjukkan pergerakan membaik," terang Suhariyanto.

Belanja Ramadan

Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga sependapat jika kenaikan inflasi inti secara tahunan pada Maret menunjukkan peningkatan daya beli. Hal itu diperkirakan karena harga perhiasan emas cenderung stagnan serta didukung pelemahan rupiah. "Pelemahan rupiah mengatrol inflasi inti," jelas Josua.

Data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia (BI) mencatat kurs rupiah sepanjang Maret melemah cukup tajam terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Rata-rata kurs rupiah pada Maret Rp 13.758,29 per dollar AS, melemah dibandingkan rata-rata Februari Rp 13.590,05.

Josua berharap pemerintah menjaga pemulihan daya beli konsumen ini agar terus berlanjut hingga bulan-bulan ke depan. Inflasi harus dikendalikan agar tidak menggerus daya beli. Apalagi memasuki April, walaupun stok pangan meningkat namun permintaan menjelang bulan Ramadan dan idul Fitri juga akan naik. "Pemerintah harus tetap mempertahankan harga BBM bersubsidi sehingga inflasi harga diatur pemerintah stabil," jelas Josua.

Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih berpendapat, kenaikan inflasi inti karena masyarakat mulai berbelanja untuk persiapan perayaan Ramadan dan Lebaran. Ini terindikasi dari komponen pengeluaran yang mengalami inflasi cukup tinggi adalah sandang. "Jadi orang sudah mau membeli sandang. Di mana di sandang ini seluruhnya mengalami inflasi, Ini sudah bisa menjadi signal yang cukup positif," jelas Lana.

Lana memperkirakan tren daya beli konsumen akan terus meningkat hingga beberapa bulan mendatang. Sebab menjelang Ramadan Mei-Juni masyarakat akan berbelanja untuk persiapan.

Daya beli petani tergerus harga gabah

Tanda-tanda pemulihan daya beli di awal tahun 2018 masih belum berasa bagi petani. Walaupun sudah memasuki musim panen raya, namun petani masih mengalami penurunan daya beli.

Penurunan daya beli itu terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) bulan Maret 2018 yang turun 0,39% menjadi 101,94 dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 102,33. Penurunan Nilai Tukar Petani terjadi karena indeks harga hasil produksi pertanian melemah.

Di sisi lain indeks harga barang dan jasa, uang yang dikonsumsi oleh rumah tangga, dan keperluan untuk produksi pertanian mengalami kenaikan. "Penurunan NTP karena indeks harga yang diterima petani turun sebesar 0,24% sedangkan indeks harga yang dibayar petani naik sebesar 0,15%," jelas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto di Gedung BPS, Jakarta, Senin (2/4).

Penurunan NTP Maret 2018 dipengaruhi oleh turunnya NTP pada subsektor tanaman pangan sebesar 1,18%, subsektor peternakan 0,15% dan subsektor perikanan 0,17%. Sedangkan subsektor yang mengalami kenaikan NTP adalah subsektor hortikultura sebesar 0,05% dan subsektor tanaman perkebunan rakyat sebesar 0,13%.

Jika dilihat NTP per daerah, maka pada Maret 2018, NTP di Provinsi Riau mengalami penurunan terbesar hingga 1,5%. Sebaliknya NTP Provinsi Sulawesi Barat mengalami kenaikan tertinggi sebesar 1,81% .

BPS juga mencatat Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) nasional pada Maret 2018 turun 0,47% dibanding bulan sebelumnya menjadi 111,58. Secara umum, penurunan daya beli di masyarakat pedesaaan karena inflasi pedesaan pada bulan lalu sebesar 0,12% (mtm).

Pelemahan daya beli petani juga didorong penurunan harga gabah seiring panen. BPS mencatat gabah kering panen (GKP) di tingkat petani turun 8,65% menjadi Rp 4.757 per kg, di tingkat penggilingan turun 8,67% menjadi Rp 4.845 per kg. Lalu harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani turun 8,71% menjadi Rp 5.442 per kg dan di tingkat penggilingan turun 8,85% jadi Rp 5.555 per kg.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia